Senin, 10 Oktober 2011

Perlukah Takut terhadap Risiko Strok pada Anak-Anak yang Masih Rendah? (Essai Ilmiah BBMK MRC)



Nama               : Nurfazlina
BP                   : 1110312157
Prodi               : Pendidikan Dokter 2011
Peserta BBKM dan OR MRC 2011-2012

Kebanyakan orang awam masih memiliki pandangan bahwa strok adalah penyakit yang banyak dialami oleh orang lanjut usia. Pernyataan ini tidaklah salah karena kasus yang sering kita temukan dilapangan adalah orang lanjut usialah yang rentan menderita stroke. Bahkan, kita akan dengan cepat memutuskan bahwa anak-anak tidak mungkin atau jarang mengalami strok. Namun, saat ini diakui atau tidak, strok juga diderita oleh anak-anak walaupun dengan risiko yang masih tergolong rendah. Kita tentu akan bertanya atau malah sedikit meremehkan dengan mengatakan “ perlukah saya takut pada risiko strok pada anak-anak yang masih rendah tersebut? ”.

Sebelum kita mengupas dan menuding pernyataan diatas, alangkah baiknya kita melupakan sejenak tudingan diatas dan memusatkan perhatian pada apa itu strok pada anak-anak. Pengetahuan tentang strok secara teoritis ini memang akan membingungkan dan membosankan, tetapi ini akan membantu dalam hal pemahaman apa itu sesungguhnya strok.

Strok (stroke = dalam bahasa inggris) merupakan suatu keadaan dimana secara tiba-tiba pasokan darah ke suatu bagian otak terganggu. Strok pada anak didefinisikan sebagai gangguan serebrovaskular yang terjadi pada usia antara 30 hari (1 bulan) sampai 18 tahun. Definisi lain menyebutkan strok pada anak adalah strok yang terjadi pada usia antara 28 hari setelah lahir sampai 18 tahun.

Untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami strok atau bukan, kita dapat melihat gejala-gejala pada anak berupa pusing, migrain atau sakit kepala di bagian tertentu, dan mata terasa berkunang-kunang, pusingnya semakin menjadi-jadi selama 1-2 jam, muntah, kejang, hilang kesadaran, anak yang semula dapat berbicara dengan lancar akhirnya menjadi terbata-bata,dan gerak tubuhnya pun mendadak kaku dan menjadi lumpuh. Gejala tersebut tak hanya dialami oleh anak-anak usia sekolah, melainkan juga pada bayi. Bayi tersebut biasanya akan rewel terus-menerus, tak mau minum susu, muntah, dan kejang. Selanjutnya diikuti dengan menurunnya kesadaran, lemas, bahkan kelumpuhan. Dr. E Steve sebagai ahli penyakit strok mengatakan bahwa gejala pertama stroke pada bayi adalah kejang yang hanya mengenai satu lengan atau tungkai. Gejala kejang ini sering sekali timbul hingga jumlahnya mencapai sepuluh persen dari kelainan kejang yang terjadi pada bayi. Sedangkan pada orang dewasa, gejala kejang jarang sekali ditemukan.

Risiko strok pada anak di dunia memang tergolong rendah. Berdasarkan akumulasi dunia, angka kejadian stroke pada anak-anak sekitar 2 per 100.000 anak per tahun, sedangkan angka kejadiannya pada bayi mencapai 25 per 100.000 bayi per tahun. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Kanada, dan Cina memberikan akumulasi yang sedikit masih dapat dihitung jari. Di Amerika Serikat Insidensi stroke pada anak diperkirakan antara 2-3/100.000 anak/tahun dan di Perancis Insidensi stroke pada anak diperkirakan 13/100.000 anak/tahun. Di Inggris sekitar 400 anak mengalami stroke setiap tahun. Untuk negara Kanada, Canadian Pediatric Ischemic Stroke Registry (CPISR) melaporkan insidensi stroke iskemik pada anak usia <18 sebesar 2,7/100.000 anak/tahun, 40% pada usia < 1 tahun dengan perbandingan laki-laki: perempuan (1,5:1). Ditambah lagi, Penelitian pada anak-anak Cina di Hong Kong mendapatkan stroke pada anak sebesar 2,1/100.000 anak/tahun dengan 28% diantaranya stroke hemoragik.

Risiko strok yang masih tergolong rendah ini dapat terjadi tentu dengan adanya penyebab-penyebab yang disadari ataupun tidak. Penyebab ini bisa dianggap sebagai awal mula mengapa bisa terjadi strok pada anak, namun bisa juga sebagai pembelajaran bahwa jika terjadi peningkatan risiko strok pada anak tidak terlepas dari faktor penyebab. Secara umum, sebagian besar stroke pada anak-anak terjadi akibat kombinasi faktor penyebab medis dan faktor penyebab perilaku. Berdasarkan pembagian strok, dapat kita lihat beberapa penyebab strok. Sebagian besar (> 70%) kasus stroke pada anak adalah stroke iskemik , yaitu ketika pembuluh darah utama terhalang oleh plak, gumpalan darah atau bentuk lemak lain, dan 30% stroke hemorgaik , yaitu ketika pembuluh darah dalam otak pecah dan darah mengalir ke dalam otak. Namun, jika ditinjau dari segi penyakit yang menimbulkan strok, terpadat dua penyakit yang selalu digembar-gemborkan sebagai penyebab strok pada anak yaitu anemia sel sabit dan penyakit jantung bawaan. Lebih serius lagi, jika kita berbicara penyebab strok dari segi lingkungan atau prlaku, Hal ini tentu akan menjadi sangat kompleks, seperti stress, pola dan gaya hidup yang tidak sehat, tekanan darah tinggi, diabetes dan obesitas.

Ternyata, tak terlepas dari risiko dan penyebab strok, ada hal utama yang perlu kita kupas. Berdasarkan beberapa sumber  data menunjukkan bahwa 20% kasus stroke anak meninggal dalam perawatan. Sejumlah 45% kasus akan menunjukkan gejala kecacatan akibat stroke yang menetap, dan 35% akan sembuh sempurna tanpa cacat. Kejadian strok ulang terjadi sampai 20% kasus, dan meningkatkan kematian. Lebih ironisnya lagi, dari sumber lain  disebutkan bahwa strok pada anak merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian pada anak. Peninjauan medis ini memberi sedikit gambaran bahwa risiko strok yang sedikit namun pasti yaitu hidup, cacat, atau mati. Ditinjau dari aspek medis pun, penyakit ini tergolong penyakit mahal dalam pengobatan. Akankah kita rela membiarkan seorang anak mati ataupun cacat karena mahalnya alat untuk terapi. Dilihat dari akibat sosial.strok pada anak memiliki dampak yang besar dalam masyarakat, diantaranya berhubungan dangan hilangnya masa-masa produktivitas. Seorang, dua, tiga atau beberapa anak yang seharusnya bermain, belajar, menikmati indahnya bimbingan dan belaian orang tua, dan dipersiapkan menjadi harapan bangsa direnggut oleh strok yang bisa saja mancacatkan atau bahkan membunuh secara perlahan dan pasti. Lebih ditakutkan lagi, angka yang masih bisa dihitung jari, angka yang terlihat kecil pada deretan angka lain pada risiko strok pada anak ini diperkirakan anak meningkat seiring dengan pengabaian dan peremehan pada usaha preventif dan pengobatan. Masihkan kita perlu bertanya atau meremehkan dengan mengatakan perlukah saya takut pada risiko strok pada anak-anak yang masih rendah tersebut? ”.

Rasa takut atau tidak, akan menimbulkan banyak respon. Namun, alangkah indah dan bermanfaatnya jika rasa takut menjadi tonggak awal untuk mencegah, berubah, dan berbuat lebih baik. Ketakutan yang timbul ketika kita tahu bahwa strok pada anak-anak tak pantas dipandang sebelah mata karena risikonya masih rendah, dapat terjadi pada pribadi, keluarga terutama orang tua, masyarakat dan pemerintah.

Sebagai pribadi, terutama pada anak-anak sebagai objek pembicaraan, ketakutan akan cenderung pada akibat yang ditimbulkan pada fisik,  seperti kematian dan kecacatan, dan pada mental, seperti malu karena cacat, takut harus dirawat dirumah sakit, tidak menikmati masa-masa bermain seperti teman secara normal,dll. Sebagai pribadi, ketakutan ini bisa menuju pada pencegahan personal seperti, menjaga pola makan dan gaya hidup pribadi/ anak-anak, apabila ada masalah dapat berbagi dengan teman, guru, atau orang tua sehingga tidak menimbulkan stress berkepanjangan, dan pemberitahuaan pada orang tua ataupun lingkungan tentang gejala yang timbul pada tubuh. Bagi bayi atau pun balita, hal pencegahan dan pengobatan secara lansung lebih difokuskan pada bantuan pihak lain, seperti orangtua, baby sitter, dokter, dll berupa pengecekan status gizi, pemeriksaan penyakit bawaan atau gejala penyakit, dan perhatian yang lebih pada setiap perubahan tingkah laku bayi/ balita.

Sebagai orangtua, ketakutan terhadap strok pada anak menjadi hal yang dominan dalam tahap pencegahan dan pengobatan karena orang tualah yang paling tahu anaknya, orang tualah pihak yang sering berada di dekat si anak dan orang tualah yang memutuskan apa pertolongan yang harus diberikan pada anak. Pada orang tua, tahap pencegahan dapat dilakukan dengan peningkatan kepekaan orang tua terhadap keingintahuan tentang apa itu strok pada anak, apa penyebabnya, dan apa bahayanya. Tanpa pengetahuan pencegahan tentang strok lebih lanjut terhadap anak, seperti pengaturan pola makan dan gaya hidup, peredaan stress, pemeriksaan penyakit bawaan yang anak derita, dll , orang tua harus rela menggotong anaknya kerumah sakit, bersabar menunggu apakah si anak bisa tetap hidup, cacat, atau meninggal, dan berkorban materi demi pengobatan yang mahal.

Sebagai masyarakat dan negara, ketakutan ini hanya berupa prihatin dan sedikit kegelisahan. Bagaimana tidak, masyarakat dan negara membutuhkan anak-anak sebagai elemen yang berperan khusus sebagai tunas yang akan menumbuhkan bibit-bibit di kemudian hari. Bahkan, adanya kematian dan kecacatan akibat strok ini akan menurunkan status sosial suatu masyarakat dan bangsa karena sedikit menghilangkan garis-garis kesejahteraan rakyat yang diimpikan. Tokoh masyarakat dan pemerintah seharusnya dapat menginformasikan, memberi penyuluhan tentang gejala, risiko, penyebab, dan akibat penyakit yang terlihat masih awan pada masyarakat, seperti strok pada anak ini, untuk menghindari kelalaian dalam pertolongan dan pengobatan akibat ketidaktahuan


Sumber :

Gemari Edisi 94/Tahun IX/Nopember 2008 _ 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak