Sabtu, 17 Desember 2011

Ibu, Jasamu tak kan terganti

oleh Nur Fazlina pada 17 Desember 2011 pukul 17:45
Ku menangis keluar dari tubuhnya
ia tersenyum menahan sakit
Ku berteriak ia tak dekat aku
Ia segera beranjak dari kantuknya
Ku memekik ketika haus dan lapar
Ia rela menyerahkan nutrisi tubuhnya
Ku kencing atau buang air di celana
Ia tak jijik dan tak memarahiku
Ku menjalani hari-hari disela pertumbuhanku
Ia rela menjagaku, membimbing bagai peri penyelamat, malaikatku
Ku terluka, sakit, demam, influenza
Ia cemas, takut, segera memburu obat di manapun itu, ia tak pikir lagi dirinya
Ku nakal, pukul dirinya, beronta padanya
Ia sabar, tabah, sedikit memarahiku namun diselingi nasehat dan kata mutiara
Ku ingin ini, ingin itu, apapun itu
ia berusaha sekuat tenaga menenuhinya, mengorban jiwa, raga, tenaga bahkan menjadi wanita perkasa, ibu perkasa

When I’m teen...
Ia tetap kuat, sekuat dulu, bahkan lebih kuat
Ia tetap baik, lembut seperti dulu
Ia tetap cinta, sayang aku
Ia tetap berusaha memenuhi asaku
Ia tetap mengajariku bagaimana semua
Ia tetap tabah dan sabar melihat sikapku
Ia tetap menasehati bukan memaki
...........

Suatu hari....
Ku mendekati
tubuh yang mulai renta,
kulit yang mulai keriput,
ia duduk termenung
Di dekat jendela itu, Air membasahi bumi
Aku mendekat, lebih mendekat
Mukanya sembab, matanya merah

Ibu, kenapakah ibu?, salahkah aku?
Ia hanya bilang, air hujan membasahi pipinya
Ku segera memeluk tubuhnya erat-erat
Aku hanya ingin ibu katakan saja, aku tahu
Ku tak ingin ibu lemah karena beban itu
Berikan padaku, aku tak ingin ibu mengembannya sendiri lagi
Ku berbisik, Maafkan aku ibu, Terimakasih untuk semua, Aku sayang ibu
Ya Allah, cintailah ibu melebihi cintanya padaku

Ibu, Jasamu Takkan Terbalas

oleh Nur Fazlina pada 17 Desember 2011 pukul 17:55

Selamat pagi ibu...
Apa kabar ibu...
Aku, anakmu, disini, baik-baik saja, aku hanya cemas magh ibu kambuh lagi atau air mata ibu jatuh lagi dipagi ini karena kangen aku, karena ulahku, atau karena peliknya hidup. Aku hanya selalu berdo’a pada-Nya, ibu disana baik-baik saja dan senantiasa dihiasi senyuman rindu yang membahana. Akupun disini sama, senyuman ibu dan harapan ibu selalu terbayang dalam mejalani hari-hari menuntut ilmu.
Ibu, kali ini aku menulis surat yang pertama untuk ibu dalam senyuman dan hiasan bahagia. Aku selalu berharap ibu akan membacanya dalam nuansa haru. Bahkan,Aku seakan melihat sosokmu berada didepanku, tersenyum, memelukku dikala malam yang dingin, me”ninabobo”kanku dikala malam semakin gelap, menyuapiku makan dikala sakit dan memarahiku karena aku ceroboh atau malas.
Ibu, kala jauh, kala sosokmu begitu jauh, Aku teringat jasa dan kebaikan hatimu. Walau aku telah lupa dan berpura-pura lupa, tetapi terimakasih terdalam atas semua yang telah engkau beri. Aku lupa bahwa dulu aku tak bisa apa-apa tanpamu, tak bisa makan sendiri, tak bisa mandi sendiri, dan tak bisa jalan sendiri. Namun, aku tetap tumbuh menjadi dewasa seperti sekarang ini. Aku lupa bahwa dulu ketika aku lapar, kau menyusuiku, menyuapiku, memberi bubur tim kesukaanku, mengajariku jalan, dan menggondongku hingga pinggangmu sakit. Bahkan aku lupa bahwa ketika ku masih berada didalam rahimmu, aku suka menendang perutmu hingga sakit, tumbuh dan menambah masa tubuhmu. Terima kasih ibu.
 
Ibu, kala jauh, kala sosokmu semakin jauh, Aku tersadar bahwa aku telah tumbuh dewasa bahkan ukuran tubuhku telah melebihi ukuran tubuhmu. Aku memang telah bisa makan sendiri, berjalan sendiri, mandi sendiri, melakukan aktivitas sebagai ‘manusia’ sendiri, dan telah menduduki bangku pendidikan melebihi yang pernah kau terima dulu. Itu semua berkatmu ibu, aku melihat semua jasamu yang selalu ada, tumbuh subur dihatiku. Namun, aku tetap seperti dulu, seorang anak yang lemah tanpa ibu dan seorang anak yang rindu belaian kasih ibu. Hanya saja, kali ini aku berusaha membalas jasamu walau takkan terbalas. Aku berusaha menjadi anak yang membanggakanmu walau kau lah orang yang paling ku banggakan. Aku berusaha menjadi anak yang begitu menghargaimu walau kau lah orang yang paling ku hargai.
Ibu, entah kenapa tiba-tiba saja air menetes dipipiku. Aku takut jika aku pulang tak ku lihat lagi raut wajah pilumu. Aku takut ketika pulang tak ku temui lagi tubuh dan pelukan hangatmu. Aku takut ketika pulang tak ada lagi marah dan nasehat terdengar dari bibirmu. Aku takut ketika aku pulang tak ada lagi tangan yang akan mengusap kepalaku dan me”ninabobo”kanku di kala malam mencekam dan tak ada lagi tangan yang ku cium untuk berpamitan. Aku takut ketika aku pulang yang ku temui hanya sesosok tubuh terbujur kaku dalam balutan kain putih. Sungguh, Aku takut, aku sayang ibu dan aku rindu ibu. 
Ibu, kala jauh, aku mendekat padamu melalui hati pada penciptaku agar Dia menjagamu dan mencintaimu melebihi cintamu padaku.

Rabu, 07 Desember 2011

Dia, Muslimah yang Berprinsip

oleh Nur Fazlina pada 7 Desember 2011 pukul 4:15 ·

Malam ini adalah malam selasa dan aku pun teringat pada amanah, tugas yang sudah menjadi rutinitas, yakni mempelajari LO yang telah ditentukan pada hari senin. Aku harus segera fokus dan belajar malam ini. Dengan tidak membuang-buang waktu, Aku pun tersentak, bangkit, dan mengangkat piring dan gelas kotor yang baru saja ku gunakan untuk menaruh makanan pengganjal perut malam ini menuju wastefel di dapur yang letaknya tak jauh dari kamar kosku. Ketika ku mulai membilas piring tersebut satu persatu, ku terkejut mendengar suara seakan memanggil namaku dan melihat sesosok tubuh berada tepat disebelahku. Ternyata, kak Anisa telah beberapa detik yang lalu menuju kamarku untuk sekedar menemuiku tetapi tak menemukanku dikamar. Dalam sekejap, percakapan kami pun dimulai sembari menungguku selesai membilas piring dan gelas yang berlumuri sabun. Ku mulai memahami maksudnya menemuiku. Dia bermaksud melihat-lihat atau meminjam buku atau majalah yang ku koleksi dikamar.

Beberapa menit kemudian, kami pun telah berada dikamar dengan ukuran standar untuk kos seorang mahasiswi FK Unand. Ku pun menyuguhkannya beberapa buku ringan yang ku koleksi diantaranya : majalah BROCA FK Unand edisi bulan ini, Dawa’ Buletin FSKI FK Unand, Novel Negeri Lima Menara dan Ranah 3 Warna (hehe, dengan nada bangga, ku ceritakan bahwa novel ini lengkap dengan dengan tanda tangan si penulis, Anwar Fuadi), dan Buku “30 Perempuan Pilihan”. Kak Anisa hanya sesekali berkomentar sembari membuka cover yang mulai agak kusam itu. Ia pun tertarik pada Majalah BROCA yang hanya seharga 3500. Dalam anganku, ku mulai menerawang waktu 2 bulan yang lalu ketika mulai pindah ke kos ini. Kala itu, kak Anisa menyapa Aku dan ibu yang sedang membersihkan kamar. Dengan balutan gamis yang terlihat anggun ia memperkenalkan diri sebagai kakak tertua dikosan ini. Saat ini, Ia adalah seorang dosen di salah satu STIKES dan POLTEKES di Padang. Aku pun tergagum dengan muslimah lulusan S2 FK Unand ini.
.
“Kak, Ana bingung deh, klo berdebat dengan Paman yang tergolong menganut aliran yang lumayan aneh dalam islam, Masa’ ya, pas Ana nanya kenapa Beliau gag shalat. Beliau malah ngajarin ‘klo kita shalat cuma karena tradisi atau ngikut rutinitas kebanyakan orang, orang ruku’ kita ruku’, orang sujud kita ruku’ , trus kita gag ngerti maknanya, itu sama aja gag shalat. Intinya kita kan shalat buat komunikasi dengan Allah, Ya, cukup dengan mengingat Allah setiap saat. Itu lebih baik’. Gimana pendapat kakak? Ana bingung mau mendebat kayak gimana”, ku memulai obrolan dengan kak Anisa di kesunyian malam ini.

Hmm,,”, dengan sedikit wibawa yang agak nyantai kak Anisa mencoba melukiskan pendapatnya yang cukup bisa dicerna oleh setiap lekuk saraf otak ini. “ Ana, kita kan tau, sejak kecil, sejak SD lah, klo dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa diwajibkan atas setiap Umat Islam untuk Shalat 5 waktu sehari semalam sebagaimana hasil dari Isra’ Mi’raj Rasululaah SAW. Shalat adalah komunikasi kita dengan Allah. Memang, yang kita lihat saat ini kebanyakan orang cenderung memaknai shalat sebagai rutinitas, melaksanakan gerakan shalat dan membaca lafal shalat yang dihafal dan diajarkan guru ngaji tanpa memaknai arti setiap ayat dalam shalat sebagai bahasa yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Rabb sehingga shalat hanya terlihat sebagai tradisi belaka. Tapi, apakah karena hal tersebut, lantas kita kalah, kita menyerah, dan memilih jalan mudah untuk berkomunikasi dengan Allah hanya dengan mengingat-Nya setiap detik saja padahal dalam Al-Qur’an, Dia meminta kita berkomunikasi dengan-Nya dengan salah satu cara wajib yaitu shalat. Seharusnya, kita sebagai muslim tidaklah meniru kebanyakan orang dalam berbuat yang belum sempurna. Intinya, dengan menyempurnakan shalat kita, kita akan menjadikan shalat bukan sebagai rutinitas belaka, namun lebih untuk berkomunikasi, berserah, bermunajat, dan berhubungan dengan Rabb. Ana kan juga tau klo shalat bermanfaat untuk kesehatan dilihat dari gerakan shalat yang dilakukan secara sempurna mulai dari wudhu’, ruku’, sujud, dll”. Aku pun tertegun dan kata-kata ini seakan menusuk hati dan logikaku yang mulai rapuh oleh logika nafsu.

Kak, nanya lagi ya, bole kan” kata ku dengan nada memohon dan lugu. Dengan tampang menyebalkan, kak Anisa pun menudingku. “Haha, Kakak sih klo mempelajari soal syariat agama lebih suka dimaknai secara akal dan logika yang sehat. Semua memang telah tertera dalam Alqur’an dan Hadits, tetapi alangkah paham dan indahnya jika kita mencari hal-hal lain yang lebih masuk akal dan lebih ilmiah yang membuat kita lebih yakin pada ayat yang tertera dalam Al-Qur’an dan Hadits dan memaknainya secara lebih ikhlas”.

Benar juga sih kak, tapi kan butuh waktu ekstra buat nyari hal-hal tersebut. Oiya, Btw, Ana kan dulu pernah punya beberapa teman. Anehnya, tapi Alhamdulillah juga sih kak ngeliat dia dalam beberapa bulan saja bisa berubah menjadi akhwat banget gitu loh, jilbab dalam, baju longgar, dll, gimana tuh kak? Ana malah jadi takut ada kaitannya dengan aliran sesat”, ku pun memulai obrolan baru.

“Nah, Menurut kakak ya, terserah Ana setuju atau ngak ya. Kita sebagai muslim sebenarnya ngak berhak menuding seseorang sesat atau mungkin malah memaknai agama dengan sempurna. Cukup Allahlah yang berhak menilai apakah orang tersebut baik, pura-pura baik atau malah terbaik di mata-Nya. Mungkin saja orang yang biasa-biasa saja, hatinya lebih bersih dari kita. Mungkin saja ketika kita benci melihat orang pacaran, jalan dengan cowok, bergunjing, suatu saat kita akan terpengaruh dan berbuat hal yang sama. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa berusaha menjadi terbaik dimata-Nya. Untuk simplenya, apa yang memang telah umum dalam agama dan menjadi sesuatu yang wajib memang harus kita pertahankan disertai pendalaman menuju kesempurnaan. Jika Ana melihat orang tidak shalat, puasa, berzakat, padahal ia sangat paham agama, Ana boleh dengan gamblang menudingnya ‘sesat’ atau kafir. Terkadang, ada orang yang lebih dahulu menemukan cahaya-Nya untuk menjadi muslimah dalam balutan pakaian taqwa. Namun, terkadang ada orang yang takut, tak berani dan menunda untuk itu karena merasa belum siap dan cahaya itu belum menerobos hatinya. Intinya, kita sebaiknya berusaha menjadi terbaik dimata-Nya, berani berubah dalam usaha memperbaiki, bukan menunda untuk berubah”. Dalam anggukan setujuku, kak Anisa mengakiri penjelasan yang terlihat begitu panjang. Ia hanya nyengir melihat wajah luguku. Sesekali ia bertanya pendapatku. Terkadang ia setuju tetapi terkadang juga membantah dan meluruskan.

Malam semakin larut disertai sunyi yang terus menghiasi. Untung, malam itu setiap kamar di kos dihuni dan pagar digembok dengan kuat sehingga maling-maling mengurungkan niatnya berkunjung untuk ketiga kalinya. Ketakutanku malam ini pun seakan hilang dengan kehadiran kak Anisa dikamarku. Aku bersyukur bisa kenal dan sekosan dengan kak Anisa. Ia tak sama dengan orang yang biasa ku kenal. Biasanya, dengan dengan teman-teman, aku akan mengobrol masalah cowok, pacaran, atau jalan-jalan, semua yang berbau duniawi. Kini sesosok tubuh didepanku seakan menyejukkan hatiku yang mulai gersang. Ia tak ragu-ragu menyodorkan prinsip-prinsipnya tentang hidup dan islam. Aku pun malu akan kekanak-kanakan ku dalam memandang diriku sebagai muslim dalam menjalankan perintah-Nya.

--- | | --

Dengan penuh sabar, ku gosok-gosok baju-baju yang terlihat penuh bakteri. Untung, detergen yang ku pakai lumayan harum untuk merilekskan otot-ototku yang mulai aus oleh kontraksi menggerakkan batang gundar di permukaan baju. Seakan menikmati, satu persatu baju telah selesai ku bilas. Ya, hanya butuh sedikit tenaga lagi untuk menjemur. Tak terbayang rasanya bila esok, aku tak punya baju bersih lagi. Lagi-lagi, ada yang mengganggu konsentrasi ku dalam mencuci dan lagi-lagi, ia adalah kak Anisai. Kali ini, ia menemuiku untuk mengajak ke Gramedia. Dengan cepat, ku menjawab ‘ya’ karena ku memang berfikir untuk hunting buku lagi. Buku “Surat Kecil Untuk Tuhan” yang ku beli seminggu lalu telah ku santap dengan lahapnya. Tentu, kali ini, keinginan untuk hunting mulai muncul lagi.

Beberapa menit kemudian, ku telah siap menunggu kak Anisa yang sedari tadi berdandan di kamarnya. Untungnya, tepat di garasi mobil ibu/pemilik kos, terdapat bangku panjang yang bisa menopang tubuhku. Dengan dandanan seperti kuliah tadi pagi, ku berjalan gontai bersama kak Anisa menuju jalan raya di depan FK Unand. Target kami kali ini adalah menyetop angkot jati yang bisa membawa kami menuju tempat tujuan. Dandan kak Anisa yang terhitung sedikit lama terbayar impas dengan senyuman yang menghiasi bibir kami dan rasa percaya diri ditengan keramaian kawasan mahasiswa ini. Aku kembali menerawang dan teringat pada percakapan di malam itu. Sembari tersenyum didalam hati yang mampu ku simpulkan dari kata-katanya, “tak segampang itu kita sebagai wanita bermimpi memiliki pasangan yang shaleh, begitu juga tak mudah semudah itu seorang laki-laki mendamba seorang wanita shalehah. Semua sebanding, ketika kita seorang wanita, ingin mendapat Rasulullaah, kita harus menjadi seperti Siti Khadijah, ketika kita seorang pria ingin mendapatkan Siti Fatimah, kita harus menjadi seperti Ali bin Abi Thalib”.

Dalam hitungan menit, Angkot Jati pun berhasil mengantarkan kami ke tempat yang tergolong elit, tidak hanya karena bangunan yang dibuat mewah, tetapi juga karena pengunjung yang datang adalah kaum intelektual daerah ini. Kak Anisa dengan sigap menyapa pegawai disana untuk menanyakan Laser infokus yang ia butuhkan. Karena ia ragu dengan harganya dan itupun bukan tipe yang ia inginkan, iapun mengurungkan niat untuk membeli. Aku pun mengajak kak Anisa ke lantai dua untuk melihat buku-buku yang berlabel paling murah 20ribuan. Buku-buku medis, bernuansa biologi di lemari berhasil membiusnya untuk sekedar bertanya harga pada petugas. Hanya saja, ia bisa membandingkan dan menyimpulkan buku-buku di Ramadiva memang lebih murah dan terjangkau oleh kantong mahasiswa. Meskipun buku-buku religi ringan atau novel ringan yang dipajang juga berhasil membiusku, hati ini pun mulai berbisik dan telpon mama pun mengingatkanku bahwa buku-buku kuliah yang mulai menggunung dikamar kos belum ku lahap dengan sempurna. Ku urungkan niatku untuk membeli begitu juga kak Anisa Dalam rintikan hujan yang semakin deras, kami pun mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari gedung yang sedikit menghipnotis uang-uang dompetku untuk keluar. Tepat didepan gedung, angkot jati kembali berlalu-lalang dan kami pun memutuskan untuk menaiki salah satu dari mereka.

Dalam perjalanan pulang menuju kosan tercinta. Aku dan kak Anisa berhasil menguasi suasana angkot dengan obrolan kami. Kali ini, keningku berkerut, terharu dan terseyum simpul. Lagi-lagi, Ku sedikit mulai melihat prinsip dalam hidupnya. Ia hanya wanita muslimah biasa yang dengan sungguh-sungguh menempuh pendidikan S2 nya hingga nilai coumloude itu mudah ia dapatkan dan pribadi yang dengan tulus ikhlas menekuni profesinya sebagai dosen, bukan pribadi yang ambisius dan gila gelar akademik seperti : gelar S3 ataupun Professor. Bibirku pun kelu melukiskan semua gambaran prinsip yang ia lukiskan. Namun, tak diragukan ia adalah sosok yang berprinsip, berusaha untuk terus kuat dan menikmati hari-hari. Sungguh, aku ingin belajar dari keteguhan prinsipnya. Sungguh, Aku pun berharap prinsip hidupku bisa tumbuh dalam hatiku, berbunga, dan bisa berbuah pula dikemudian hari. Tak ingin angin menerbangkannya di kala ia mulai berbunga.

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak