Kamis, 18 April 2013

Emansipasi Wanita dalam Islam : bukan Pembebasan Diri, melainkan Pemuliaan Diri (Artikel)




Oleh Nurfazlina, Pendidikan Dokter 2011, FK Unand

Disusun untuk mengikuti Lomba Artikel Emansipasi Wanita dalam Islam 2013 yang diselengggarakan Departemen Keputrian FKI Rabbani dan Departemen Keputrian FSI se-Unand




            Di era globalisasi, persoalan emansipasi wanita sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Bahkan, emansipasi wanita bisa dikatakan sukses menyusup seluruh aspek kehidupan wanita. Di Indonesia, RA Ajeng Kartini  berhasil memperjuangkan masalah emansipasi wanita dalam  hal mendapat pendidikan yang layak dan menghilangan pengekangan yang memasung kreativitas dan ruang gerak kaum wanita. Kemudian, diikuti perjuangan kaum wanita lain yang terjun kedunia perpolitikan, menduduki jabatan sesuai dengan kemampuannya yang bisa dikatakan setara bahkan bisa lebih tinggi dari kaum pria seperti menjadi anggota DPR, pemimpin partai, bahkan menjadi presiden. Tak terkecuali dalam bidang sosial dan kemanusiaan, wanita mendapat kesempatan bekerja, berkarier, dan berkarya sesuai kemampuanya, seperti wanita yang awalnya dilarang menjadi dokter didaerah terpencil  sekarang diperbolehkan untuk terjun menjadi relawan, pengabdi, dan pekerja didaerah dengan medan yang berat.

Namun, dibalik semua kesuksesan ini yang bisa dikatakan berdampak positif bagi kehidupan kaum wanita,  ada sisi-sisi negatif yang muncul dan kemudian yang menjadi sorotan kaum ulama dan cerdik pandai. Emansipasi wanita yang awalnya bertujuan untuk memajukan dan memuliakan kaum wanita malah terlihat seperti membebaskan wanita dari kodrat yang sesungguhnya yaitu menjadi istri bagi sang suami dan ibu bagi anak-anaknya. Bahkan pembebasan ini berujung pada kebebasan wanita tanpa melihat batasan norma dan nilai yang selama ini dianut bangsa kita seperti menjaga kehormatan dan rasa malu, menjaga tingkah laku dan sopan santun dan sebagainya yang secara perlahan memudarkan kemuliaan seorang wanita itu sendiri.

Menanggapi permasalahan diatas, sebenarnya para Ulama telah menegaskan dan menjelaskan bahwa Islam telah menjawab dan membahas masalah emansipasi wanita sejak zaman Rasulullah. Islam sebagai agama yang rahmatallil’alamiin memuliakan kedudukan kaum wanita sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits terutama surat An-Nisa’(wanita). Jauh sebelum emansipasi wanita diproklamirkan, Islam lebih dahulu mengangakat derajat wanita dari masa percampakan dan penindasan wanita di zaman jahilliyah ke masa kemuliaan wanita. Mencermati perbahasan tersebut, Penulis tertarik mengkaji lebih mendalam terkait emansipasi wanita dalam perspektif hukum islam.

Secara harafiah, emansipasi adalah kesetaraan hak dan gender. Selanjutnya, pengertian dari emansipasi wanita yang paling populer adalah suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan. Adapun dalam islam, emansipasi wanita lebih menekankan pada perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri yang sesuai dengan hak-hak yang telah diatur dalam Al-Qu’an dan Hadits dengan tetap menyelaraskannya dengan fungsi dan kewajibannya sebagai wanita.

Hak-hak wanita yang sempurna diberikan islam dan dapat diperjuangkan kaum wanita adalah pada tiga bidang :
1.    Bidang kemanusiaan : islam mengakui hak-haknya sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Sementara, umat-umat jahilliyah mengingkari permasalahan ini.
2.    Bidang sosial : telah terbuka lebar segala jenjang pendidikan bagi wanita dan wanita dapat memilih pekerjaan sesuai kemampuannya dan menempati jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai bidang dan usianya.
3.    Bidang hukum islam : I\islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan sempurna dan mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorangpun yang berkuasa atasnya baik ayah atau suaminya.

Sementara itu, fungsi dan kewajiban wanita yang harus diselaraskan dengan haknya adalah :
1.    Seorang hamba Allah (Qs At-Taubah : 71)
2.    Seorang istri (Qs An-Nisa : 34)
3.    Seorang ibu (Qs Al-Baqarah :233)
4.    Warga masyarakat (Qs Al-Furqan : 33)
5.    Da’iyah (Qs Ali-Imran : 1004-110)

Namun, menjawab tantangan pengertian populer mengenai persamaan hak dan kesetaraan gender antara wanita dan pria yang menjadi fokus utama emansipasi wanita, Islam menjelaskan bahwa terdapat persamaan kedudukan dan hak antara wanita dan pria dalam hal tertentu yakni yang disebutkan dalam dalil-dalil sebagai berikut:
1.  Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”. Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria dimata Allah adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan
Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ : 7, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah, pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.

Kemudian, Islam menjelaskan bahwa mengapa hanya terdapat persamaan kedudukan dan hak antara wanita dan pria dalam hal tertentu seperti yang dijelaskan diatas adalah karena terdapat perbedaan kodrat dan biologis antara wanita dan pria yang menjadikan mereka memiliki hak, kedudukan, fungsi, dan kewajiban yang spesifik. Hal ini berdasarkan beberapa dalil dalam Al-Qur’an : "Dan orang laki -laki tidaklah sama seperti orang perempuan". (QS. Al imron: 36)


Emansipasi Bukanlah Pembebasan Diri

Berdasarkan banyak defenisi, emansipasi dikaitkan dengan kata pembebasan baik pembebasan diri, pembebasan dari kebodohan, pembebasan dari pengekangan, dll. Pemaknaan yang tidak bijak akan hal ini akan menimbulkan perbedaan persepsi. Bahkan, hal ini menjadi senjata kaum feminis, Yahudi, dan Nasrasi yang merupakan musuh islam untuk memperjuangkan bahwa pembebasan ini bersifat tiada batas yang tidak lagi melihat kodrat dan aspek biologis manusiawi dan terlihat seperti membebaskan wanita menuju maksiat dan keterpurukan moral. Beberapa propaganda yang mereka perjuangkan yang disambut oleh orang-orang yang didalam hati mereka ada penyimpangan dan penyelewengan adalah :
1.    Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku berjudul Wanita di Timur tahun 1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.
2.    Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadikan sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan bebas.
3.    Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat.

 Menjawab propaganda yang menggaung-gaungkan kebebasan diri sebagaimana yang dijelaskan diatas, Islam menjelaskan bahwa emansipasi wanita itu ada batasnya, tidak berlebihan, dan bukanlah pembebasan diri yang dimaksudkan kaum feminis diatas. Pada dasarnya, Islam membolehkan emansipasi wanita tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”


Emansipasi Sebagai Pemuliaan Diri

Melihat emansipasi wanita yang diatur dalam islam, Kaum feminis lagi-lagi beranggapan bahwa islam mengekang kaum wanita, merendahkan martabat dan kedudukan wanita, dan tidak memberikan kaum wanita kesempatan untuk berkembang dan maju. Bagaimana tidak, mereka melihat hak, fungsi, kedudukan, dan kewajiban wanita dalam islam seperti suatu hal yang sempit.

Sebenarnya, aturan-aturan yang mengatur segala hak, fungsi, kedudukan dan kewajiban wanita dalam islam bertujuan untuk memuliakan kaum wanita. Kaum wanita yang awalnya dianggap rendah pada zaman jahilliyah menjadi mulia pada masa Rasulullaah karena dalam Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Rasulullaah dan dalam Hadits yang Rasulullaah sabdakan terdapat hak, fungsi, kewajiban, dan kedudukan wanita yang secara lansung ataupun tidak lansung memuliakan kaum wanita. Anak-anak perempuan yang awalnya dibunuh kemudian dilarang dizaman Rasulullaah , kaum wanita yang awalnya hanya sebagai pelampiasan nafsu pria jahilliah kemudian mejadi sosok yang dilindungi dalam masyarakat dan bangsa karena kaum wanita adalah tiangnya suatu masyarakat dan bangsa yang akan melahirkan generasi bangsa berikutnya, dan kaum wanita yang awalnya hanya dikekang dalam rumah kemudian dapat melakukan perdagangan dan memberikan perawatan, pengobatan, dan perlindungan bagi tentara yang terluka saat perang yang dilakukan Rasulullaah dan kaum muslimin. Mari kita meneropong kebelakang, pada awal-awal berdirinya islam telah banyak wanita-wanita yang berjaya, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar, Khadijah binti Khuwailid, Hafsah binti Umar, Maimunah binti Harits, dan lain  sebagainya. Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk berlansungnya emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta, melainkan kewajiban sebagai seorang wanita, istri, anak atau anggota masyarakat mereka ukir dengan mulianya. Inilah pemuliaan diri yang dimaksudkan islam.


Kesimpulan

Jadi berdasarkan uraian mengenai emansipasi wanita dalam islam diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa emansipasi wanita yang diatur dalam islam adalah lebih menekankan pada perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri yang sesuai dengan hak-hak yang telah diatur dalam Al-Qu’an dan Hadits dengan tetap menyelaraskannya dengan fungsi dan kewajibannya sebagai wanita, tidak berlebihan atau ada batasnya, dan tidak melanggar  syar’i. Islam menegaskan bahwa emansipasi wanita adalah bukan pembebasan diri, melainkan pemuliaan diri kaum wanita, baik di mata Allah, suami, anak, orang tua, saudara, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.



Sumber :

Fitrianti, Nanda., dkk., Tanpa Tahun. Emansipasi Wanita dalam Pandangan Islam. Makalah Pendidikan Agama Islam. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
MustBhagoezt., Tanpa Tahun. Apa Sih Emansipasi Itu?. (http://punyamasbagus.blogspot.com/2012/04/apa-sih-emansipasi-itu.html, diakses 17 April pukul 21.01 WIB)
Muzayyanah, Iklila dan Muslikah. Tanpa Tahun. Emansipasi Wanita dalam Islam. Tugas Makalah. Jurusan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Institut Teknologi Sepuluh November Tahun 2009/2010.
Sulistiyaningsih, Nur., 2012. Emansipasi Wanita dalam Prespektif Islam. (http://cahayatheprinces.blogspot.com/2012/01/emansipasi-wanita-dalam-perspektif.html, diakses 17 April 2012 pukul 21.00 WIB)


Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak