Selasa, 07 Desember 2010

Antar Aku, Ibu, dan Ayah

oleh, Nurfazlina

Jujur ku katakan bahwa esai ini mengingatkan ku pada orang tua yang sangat ku kasihi nan jauh dimata. Air mata menetes ketika jari-jari ini mengetikkan kata ‘ibu’ dan ‘ayah’, sosok yang begitu berharga dimata ku bagaimanapun mereka adanya.

Ibu memang bukan seorang yang bertitel sarjana, bertugas dikantor, berkedudukan tinggi. Ia hanya seorang buruh tani atau pedagang warung kecil-kecilan atau penjemur padi yang tidak bisa melanjutkan Sekolah Menengah Pertama karena faktor biaya. Ia hanya seorang yang harus kuat, tabah, dan bekerja keras seorang diri untuk membiayai kami,  aku, kakak laki-lakiku yang sekarang kuliah di STAIN dan adikku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia selalu mengajarkanku untuk menjadi sosok yang kuat, tabah dan pekerja keras.


Ibu, aku berjanji
Aku akan membawamu ke Sekolah Impianku
Melihatku menerima gelar sarjana dengan predikat terbaik
Melihatku memakai segaram tugasku
Melihatku mengucap akad nikah dengan lelaki shaleh
Membawamu menunaikan rukun iman
ke-5
Membahagiakanmu, menyayangimu, dan merawatmu
Sebagaimana merawatku diwaktu kecil
Ya Allah, cintailah ia melebihi cintanya padaku



Ketika meihat dan mengingat ayah, Aku merasa begitu sedih . Sosok yang tidak bertanggung jawab, pemalas, dan pengecut yang kulihat darinya. Tubuhnya masih kuat dan tegap. Namun, kelainan jiwa yang ia miliki karena kurangnya rasa tanggung jawab, pemalas, dan pengecut itu membuat ia tak mampu menafkahi kami . Dimataku, ia tetap ayah yang ku kasihi yang diberikan tuhan dengan segala kekurangannya. Suatu hari nanti, aku akan buktikan padanya bahwa aku akan tetap bisa bersekolah dan berhasil walau hanya dengan dua tangan Ibu dan usahaku.

Bagaimanapun mereka adanya, mereka adalah orang tuaku, orang yang sangat berharga yang pernah ada dalam hidupkku. Sejak ku kecil hingga sekarang ini, hidupku tak pernah lepas dari kasih sayang mereka.


Aku begitu sadar bahwa aku, ibu dan ayah hanya manusia biasa yang tentu pernah berbuat salah. Ku ingat sekali secara sadar tentang hal ini bahkan ku tahu hal ini bukan hal yang baik dilakukan oleh seorang anak. Ketika itu, aku begitu tidak kuat dengan ketidakpedulian ayah terhadap kehidupan kami, Ibu yang harus dengan sendirinya bekerja mencari nafkah, dan ditambah lagi dengan ayah bisa dikatakan sebagai anak keempat dari ibu karena ia hanya bisa makan, minum, dan tidur enak dirumah tanpa berfikir itu semua  dari mana datangnya. Aku tahu ibu tetap berusaha sabar walau terkadang lepas control pada ayah. Akupun demikian. Saat itu, aku lepas control dari nasehat-nasehat yang biasa ku berikan padanya dan naasnya yang keluar dari mulut ini adalah berbagai kata-kata yang tak seharusnya ku ucap padanya. Bahkan, secara tak sadar aku pernah berfikir aku lebih baik tidak punya ayah daripada harus punya ayah seperti dia.


“Astaghfirullah,Aku harus tetap sabar”. Kata itu berulang kali ku ucap ketika harus berhadapan dengan tanggapan ayah yang tidak logis dan seakan bertele-tele. Aku tidak meminta ia untuk menjadi seorang saudagar kaya, pengusaha kaya, atau seorang yang berkedudukan tinggi lainnya. Aku hanya ingin ia bekerja, membanting tulang dengan keringatnya sendiri, membantu ibu dalam menafkahi kami, dan tidak lagi berkata-kata stress ketika bertemu temanku, saudara-saudaraku, dan orang-orang yang bertamu kerumahku. Aku tahu mungkin Allah ingin menguji kami, aku, ibu, abang dan adikku. Do’a-do’a yang senantiasa aku ucapkan disetiap shalat untuk kesadaran dan kesembuhan ayah mungkin belum waktunya dikabulkan oleh yang Maha Pengasih dan Penyayang. Beasiswa yang ku peroleh sejak bangku SD hingga saat ini, prestasi-prestasi yang dapat ku peroleh dan ku pertahankan, ni’mat kesehatan yang Dia berikan pada ibu, kepeduliaan keluarga ayah terhadap sekolahku, dll sudah cukup menyadarkan ku bahwa Allah mendengar do’aku, meyakinkan diriku bahwa aku harus tetap sabar, dan menyadarkanku bahwa ayah adalah ayahku yang suatu hari nanti akan berubah.

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak