Minggu, 16 September 2012

Malam Pertama di Rumah Allah (cerpen)

oleh : Nurfazlina
 
"Sepertinya sudah hampir 3 minggu ramadhan tahun ini ku jalani, tetapi semua masih seperti ramadhan tahun lalu yaitu berpuasa bersama keluarga atau sahur dan berbuka di kamar kos , menjalani aktivitas kuliah dengan jadwal yang tetap padat, tarawih ke mesjid bersama ibu, teman atau sendiri, berusaha mencukupkan shalat sunnah seperti dhuha, tahajud, witir, dll….”
 
Tiba-tiba ku terhenyak dari lamunan panjangku tentang hari-hari ramadhan yang telah ku jalani ini. Aku teringat pada ceramah ustazd di mesjid di kampung atau ulasan ustazd Yusuf Mansuf dalam acara “Chatting bersama YM”. Cukup satu kata untuk menggambarkan apa yang ada dipikiranku kali ini, yaitu “I’tikaf”. Awalnya pikiran dan hati yang masih begitu lugu tentang ilmu agama ini bertanya-tanya tentang satu kata tadi, apakah perempuan atau yang lazim disebut akhwat itu boleh melakukan I’tikaf, apakah I’tikaf bagi akhwat harus dilakukan di mesjid, apa saja yang dilakukan saat I’tikaf itu dan di mesjid mana saya dapat melakukan I’tikaf itu. Ketika pikiran ini bertanya-tanya, terkadang hati berusaha meyakinkan bahwa betapa indahnya I’tikaf yang digambarkan ustazd Yusuf Mansur Itu. Kurang lebih 30 menit, aku bertanya pada diri sendiri dan tak kunjung menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas. Namun, keingintahuan tentang hal yang satu ini cukup mengantarkanku untuk memejamkan mata karena telah begitu lelah dengan kuliah seharian dengan harus tetap mengisi ramadhan ini. Dalam sekejap, tubuhku pun bisa beristirahat walau hanya beberapa jam saja.
--| |--
Jum’at, 10 Agustus
Ku ambil langkah seribu karena sepertinya sudah terlambat menuju ruang tutorial gedung ABCD FK Unand. Untung, ketika kaki menginjak lantai dari ruangan yang dingin oleh AC yang over ini, sang tutor belum menduduki bangku yang khusus disediakan untuk memantau kami berdiskusi. Aku pun segera mengincar tempat yang tergolong strategis saat tutorial. Sekali lagi aku bersyukur karena dalam waktu lebih kurang satu setengah jam saja, tutorial berjalan lancar walaupun dengan sedikit komentar sang tutor. Ketika kaki melangkah keluar ruangan yang tergolong suram  ketika tutorial ini, hati merasa plong karena beban satu minggu ini sepertinya sudah terpenuhi dan pikiran pun beranjak memikirkan apa saja yang bisa dilakukan di akhir pekan . Kegiatan yang menyenangkan tentunya. Namun, Aku pun teringat pada agenda berikutnya.

“Kak, jadi kita mentoring siang ini?” kalimat ini meluncur dari bibir ketika sesosok wanita anggun ini duduk tepat disebelahku. Ia adalah mentor pengganti karena mentor sebelumnya sedang sibuk dengan agenda coast-nya. 

“InsyaAllah jadi, Ana” hanya jawaban singkat itu terlontar dari mulutnya karena harus bangkit untuk shalat sunat.

Aku pun duduk menunggu kak Nisa di teras mesjid sembari mengobrol dengan teman yang ternyata juga akan menjadi teman satu mentoring. 

“Apa kabar ukhti semua?” sapaan ini begitu indah didengar ketika senyuman pun mewarnai dan tangan saling berjabat serta tubuh saling berpelukan sembari sedikit cipika-cipiki. 

“Alhamdulillaah baik kak”, aku dan Sari menjawab pertanyaan dan membalas perlakuan kak Nisa yang begitu menyejukkan dan mengikat hati ini.

Tanpa terasa setiap detik dalam mentoring ini sungguh menginspirasi. Aku tak menduga ternyata rencana Allah begitu indah. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi malam melalui sesosok akhwat yang sedang duduk didepanku sembari dengan ikhlas berbagi ilmunya. Bahkan, diakhir mentoring, kak Nisa menawariku untuk berangkat bersama menuju mesjid Semen Padang nanti malam. Dengan girang, aku menyetujui walau kata InsyaAllah mengawali janji ini.

Ketika matahari mulai terbenam, burung kembali ke sarang, gelap mulai menyelimuti, Hamba-hambaNya yang berpuasa pun bergegas pulang, mempersiapkan diri untuk berbuka. Tak berbeda denganku, persiapan berbuka dikamar kos sendiri memang tidak tergolong sulit, yaitu hanya memanaskan lauk yang dibawa dari kampung dan membuat segelas teh hangat. Adzan pun berkumandang dan layaknya seperti menghentikan aktivitas manusia untuk menyegerakan berbuka. Seteguk teh hangat sepertinya sudah cukup melegakan dahaganya kerongkongan ini. Aku pun beranjak untuk menunaikan shalat maghrib dan makan. 

“Ana, lagi makan ya, Diana boleh ikutan makan di kamar Ana? Soalnya Diana tidak berselera kalau makan sendiri.”, suara ini mengagetkanku yang sedang asyik melahap nasi plus rendang yang ku buat bersama ibu satu minggu yang lalu.

“Boleh-boleh”, aku mempersilahkan Diana masuk ke kamar kos dan kami pun melahap makanan masing-masing sembari mengobrol dan sedikit canda tawa.

Tiba-tiba, bunyi handphone mengagetkanku. Ternyata, kak Nisa menelpon karena telah menungguku di pos satpam. Astaghfirullaah, aku lupa tentang janji siang tadi karena begitu asyiknya mengobrol dengan Diana. Dengan berat hati, kak Nisa berangkat sendiri ke mesjid Semen Padang karena tidak cukup waktu untuk menungguku untuk mandi dan merpersiapkan segala yang dibutuhkan dan aku pun merasa tidak enak jika kak Nisa menunggu lama.

Sabtu, 11 Agustus
Aku teringat bahwa agenda radius (Ramadhan di Kampus) hari ini adalah lomba Fahmil Qur’an. Aku pun segera bergerak menuju kampus karena tidak ingin melewatkan kegiatan ini. Walaupun hanya menjadi penonton karena merasa tidak percaya diri dengan ilmu agama yang masih dangkal, ku tetap merasa enjoy diruang yang memang telah dikondisikan oleh panitia sebelumnya. Suara Bel pun silih berganti berbunyi seakan saling bersahutan. Aku pun terpaku pada lantunan ayat suciNya yang silih berganti dibacakan. Bahkan, aku pun tak sadar bahwa asharpun telah datang dan lomba pun break untuk sementara.

Usai shalat ashar di mesjid, aku pun memutuskan untuk lansung pulang saja karena ingin mempersiapkan makanan untuk berbuka. 

“Ana, kamu gag ikut rapat ultah MRC?” suara ini menghentikan langkahku untuk segera menolehkan wajah menuju sumber suara.

“Gag va, Soalnya aku tidak dijarkom, kemungkinan aku tidak dipilih menjadi panitia”, jawabku kepada sumber suara.

“ooo, trus kamu mau kemana? Oia, aku mau cerita kalau kemaren aku ikut I’tikaf di mesjid Semen Padang bersama kakak-kakak di wisma, Sungguh menyenangkan loh, apalagi ketika tahajud bersama”…., temanku yang cerewet ini terus berbicara sampai semua yang ada dipikirannya tersampaikan.

“Aku mau ke kos Va. Wah, kamu bikin aku iri aja. Aku jadi kepengen ikut , tapi gag ada teman kesana.”, jawabku dengan sedikit sedih mengingat kelalaianku tadi malam.

“Kebetulan, nanti malam temanku, Mika, berencana ikut dan tadi katanya dia mau pergi sore ini biar bisa berbuka disana juga. Aku sms nomor  telponnya yak ke nomormu . Ntar kamu sms aja. Aku mau rapat nih kayaknya udah mulai. Bye Ana”.

Sembari melangkahkan kaki menuju kos tercinta, ku tekan setiap tombol handphone hingga sebuah pesan terkirim. Namun, Naas, balasan yang ku terima membuatku kecewa. Ternyata, Mika sudah naik angkot menuju Mesjid. Aku tak berani menyusul karena takut nyasar. Akhirnya, dengan pasrah, ku menyelesaikan perjalanan menuju kos.

Sambil menunggu waktu berbuka, ku tak kehabisan akal. Sebuah pesan kembali ku kirim ke nomor yang tadi malam menelponku. Namun, kali ini balasannya membuatku tersenyum dan bersemangat. Tak ingin mengecewakannya lagi, ku persiapkan mukena, gelas, obat yang ku butuhkan, dan peralatan lain yang ku perlukan disana sehingga ketika selesai makan nanti ku bisa lansung meluncur menuju pos satpam. 

Usai makan, sesuai rencanaku, dengan segera ku berjalan menuju pos satpam. Kali ini, aku lagi-lagi diuji atau mungkin balasan kelalaianku tadi malam. Kak Nisa tak kujung datang bersama motornya. Kurang lebih 30 menit, ku duduk menunggu bersama sebuah Al-Qur’an ditangan dan seorang wanita paruh baya yang juga menunggu anaknya. Sebuah pesan di HP melegakan perasaan gundah ini dan disusul dengan kedatangan sosok yang kutunggu bersama motornya. Sambil berbonceng dibelakang kak Nisa, ku menikmati udara malam kota Padang yang dingin, tetapi bahagia dihati sudah cukup menghangatkan tubuh ini. Akhirnnya, aku dan kak Nisa sampai juga ditempat tujuan dan kami segera menuju lantai dua mesjid untuk melaksanakan shalat isya agar tak ketinggalan untuk shalat tarawih berjama’ah.

Lantai dua mesjid Semen Padang memang disiapkan khusus bagi akhwat yang ingin beri’tikaf. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua, ku temukan disini, tetapi tentu dengan label “akhwat”. Mereka semua sungguh telah mempersiapkan diri. Si ibu dengan bayinya atau anaknya akan membawa persiapan seperti botol susu, susu, makanan, dan keperluan lain yang dirasa perlu di malam hari dan begitu juga dengan  ibu-ibu lanjut usia, mereka akan membawa perlengkapan yang mereka butuhkan untuk menginap. Aku, kak Nisa, serta mahasiswa lain juga membawa perlengakapan yang diperlukan seperti makanan, minuman, jaket, dll. Hal yang menyamakan dari semua golongan adalah Al-qur’an senantiasa ditangan, mukena senantiasa melingkupi tubuh dalam shalat dan tidur sebentar atau tidak tidur sama sekali. Lain halnya dengan pihak mesjid yang begitu baik menyediakan air gallon beserta dispenser yang bebas di ambil dan diminum kapan saja, makanan untuk berbuka, dan makanan untuk sahur.  

Usai shalat tarawih berjama’ah di lantai satu , aku dan muslimah lain yang akan i’tikaf segera menuju lantai dua. Seperti akhwat lain, ku ingin ditemani Al-qur’an malam ini sembari menunngu waktu tahajud berjama’ah. Terkadang kantuk menyapa, tetapi hati berusaha menguatkan. Namun, aku pun menyerah ketika malam telah begitu larut dan memutuskan untuk menghempaskan tubuh di sebidang karpet yang disediakan bersama akhwat lain yang sedari tadi sudah duluan tidur. Aku kagum pada sosok di depan sana, atau disudut sana yang kuat dan begitu menikmati malamnya dirumah Rabbnya hingga ia pun lupa untuk tidur.

Kurang lebih satu jam kemudian, ku terbangun oleh suara kak Nisa yang membangunkan untuk tahajud bersama. Subhanallaah, aku bersyukur bisa tahajud bersama dengan tangisan yang pecah dalam doa pada Rabb, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahkan, imampun menangis terisak-isak hingga suaranya hilang dalam lantunan do’a. Sang imam seperti mengajak kami merasakan betapa ni’mat bermunajat padaNya, berdoa padaNya dalam sepertiga malam di rumahNya.  Dalam do’a, yang terbayang di pikiran ini adalah sekelumit dosa dalam mengharap ampunanNya, sekelumit ni’mat yang tak terhitung, sekelumit wajah-wajah keluarga yang begitu dicintai, Ibu, Ayah, Adik, Abang, Nenek, dan saudara seiman yang senantiasa mewarnai hari-hari dalam perjuangan berharap syurgaNya serta saudara yang mungkin pernah ku buat sedih, kecewa, atau menderita. Dalam sejuta asa, ku berucap Alhamdulillaah  yang begitu luar biasa hingga air mata tak henti mengalir. Tak terbayang betapa hampa dan lemahnya diri ini tanpa pertolonganNya, betapa hinanya diri ini tanpa lindungan dan hidayah dariNya, dan betapa malang dan miskinnya diri ini tanpa ni’mat dariNya. Sekali lagi, air mata ini jatuh karena ingat sosok ibu yang begitu mulia dan kuat di tempat yang jauh disana, ayah, abang, dan adik. Ingin juga rasanya ku do’akan keselamatan dunia dan akhirat bagi mereka. Namun, tiba-tiba isakan yang senantiasa ku tahan malah semakin luar biasa ketika imam mengajak kami merasakan betapa hebatnya perjuangan saudara-saudara di Palestina dalam simbahan darah dan dalam kecaman maut untuk beribadah. Sementara kami disini dengan mudahnya dapat menikmati hari-hari dalam beribadah padaNya, menikmati makanan dan minuman tanpa ditakut-takuti suara tembakan dan menuntut ilmu tanpa kecaman mati didepan mata. Hanya seuntai do’a yang terucap pada Rabb agar Dia senantiasa melindungi dan menjaga mereka. Mungkin tetesan air mata ini atau untaian do’a ini tak sebanding dengan perjuangan muslim lain yang rela berjihad disana, Palestina. Namun, dengan turut merasakannya, setidaknya rasa syukur memotivasi untuk turut berjuang beribadah di jalanNya dan berharap bisa berjihad disana dalam profesi yang akan ku geluti kelak. Amiin Ya Rabbal’alamiin. Subhanallaah, sungguh pengalaman dan perjuangan yang mengnspirasi. Hingga tetesan demi tetesan air mataku  pun mulai menghilang disertai senyuman dan kelegaan hati yang tak bisa ku gambarkan. Ku pun merasa semua telah ku ceritakan, ku luapkan, dan  ku kuadukan padaNya, Allah Azza Wa Jalla.

Usai shalat dengan mata sedikit sembab, ku beranjak menuju tempat yang menyediakan makanan untuk sahur karena imsak sebentar lagi datang dan diikuti dengan shalat subuh berjama’ah. 

“Ana, sudah siap? Tunggu kakak di motor aja ya, Kakak mau packing dulu diatas”, kata Kak Nisa usai shalat.

“oke Kak” , aku pun beranjak meninggalkannya menuju tempat parkir motor.

Ketika diatas motor bersama kak Nisa, aku merasa lega dan bahagia. Semua pertanyaan yang kemarin terlintas dibenakku terjawab sudah. Kali ini, dalam cekaman udara subuh yang dingin, aku terharu dan berharap bisa kembali menginap dalam ibadah disana, rumah Allah. Walaupun ini adalah I’tikaf pertamaku, tetapi ku berharap ini bukan I’tikaf terakhirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak