Minggu, 14 Oktober 2012

Selamat Ulang Tahun Mama,


Selamat Ulang Tahun Mama,

Ma, mendengar lagi suaramu ditelpon malam ini sungguh melegakan hati ini dan menghilangkan cemas ini karena  Allah masih memberimu kesehatan, tidak flu, demam, sakit kepala lagi, atau magh lagi. Namun, ketika diberitahu bahwa kemaren ultahmu, aku minta ma’af tak berucap selamat. Ketika mendengar pemberitahuan ini, entah kenapa tiba-tiba aku sedih dan air mata pun menetes di pipi. Yang terpikir di pikiran ini adalah kala umurmu semakin bertambah, aku belum bisa berbuat apa-apa untuk membalas jasamu atau setidaknya meringankan bebanmu. Aku minta ma’af mama.

Ma, entah mengapa pikiranku melayang dan berkecamuk pada masa-masa satu tahun lalu. Mengapa tak bertahan saja kamu pada jurusan yang dulu, mungkin sekarang telah tahun 3, tak berapa lama lagi wisuda, bekerja, memperoleh gaji besar, bisa mengirim uang pada mama, dan akhirnya bisa membahagiakan mama. Tak perlu berlama-lama kan. Pikiran ini pun muncul di benak ini, aku tak tau apakah ini hasutan syeitan ditambah sesal orang-orang sekitar atas keegoisanku. Bahkan, dengan tidak bermaksud menuduh, sampai sekarang pun mungkin pikiranmu sama dengan mereka. Aku tau aku salah dan aku mohon ma’af sedalam-dalamnya untuk egoisku, untuk tangisan yang terjadi saat itu.

Ma, boleh aku jujur, bolehkah aku mengaku bahwa terkadang mungkin ada sedikit sesal karena hasutan syeitan atau lemahnya diri ini akan semua tudingan orang. Namun, dibalik semua itu, rasa syukur dan bahagia disini lebih besar hingga selalu menghapus semua itu ketika ia datang mendekat. Di balik semua itu, saat ini aku merasa begitu bersemangat akan masa depanku hingga semangat itu mengahilangkan takutku. Dibalik semua itu, saat ini aku berjanji untuk bersungguh-sungguh dan mempersiapkan semua untukmu ma. Di balik semua itu, memang aku belum bisa mengirim uang untuk meringankan bebanmu dan masih butuh waktu 5 tahun lagi untuk itu, tetapi saat ini, aku akan berusaha sekuat tenaga mencari penghasilan untuk bisa mengirim sedikit uang, mungkin dari mengajar, dari hadiah lomba, mungkin dari uang beasiswa yang ku hemat dan ku sisihkan, atau mungkin dari kiriman mak wo yang lansung akan ku transfer untukmu. Mungkin ini ide yang mustahil menurut orang, tetapi sungguh aku tak sanggup melihat mama berpikir keras untuk biaya kuliah abang, uang jajan abang dan zikri, beli rokok papa, dan belanja sehari-hari yang tak tau dari mana penghasilan itu datang setiap bulannya. Sungguh, sebenarnya aku tak sanggup ma, aku sayang mama.

Ma, boleh kah ku sedikit berbicara lewat tulisan ini agar aku dan dirimu bisa tersenyum dalam peliknya hidup ini dan tidak bermaksud untuk menggurui. Menghadapi peliknya hidup kita ini, Kita hanya bisa berserah ma padaNya layaknya aku berserah ketika aku berani memutuskan disini hingga Dia mendengar do’aku, tak membiarkan aku tak kuliah, memberi beasiswa sebagai pengganti beasiswa yang ku tinggalkan disana dan beasiswa yang bisa dilanjutkan, melembutkan hati mak wo dan bang fandi agar mema’afkanku dan mensupport lagi studyku, dan terakhir melembutkan hatimu yang telah kecewa dengan ulahku. Menghadapi peliknya hidup kita ini, kita hanya bisa bersyukur karena masih bisa makan, minum, punya rumah, aku dan abang bisa kuliah, zikri bisa sekolah dan keluarga papa peduli dengan papa dan keluarga kita. Menghadapi peliknya hidup kita ini, kita masih bisa tersenyum kan ma, masih bisa berdo’a dan masih bisa yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Menghadapi peliknya hidup kita ini, yakinlah bahwa bahagia itu tidak selamanya bila memiliki uang banyak, tetapi lebih membahagiakan kala kita berkumpul di bawah satu atap, makan bersama walau hanya sepiring nasi dengan lauk yang terkadang pas-pas, dan sehat wal ‘afiat sehingga bisa berlomba beribadah padaNya. Namun, dalam do’a tentu hati ini condong pada rumah yang bagus, mobil mewah, dan hidup sejahtera. Semoga kata ini bisa membuat mama dan diriku tersenyum haru malam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak