Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Juli 2013

Jejak-Jejak Dakwah (Cerpen)

Oleh Nurfazlina, Staf Departemen Peduli Umat


Mengarungi samudera kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup adalah perjuangan
Tiada masa tuk berpangku tangan
 Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna di telan masa
Segores luka dijalan Allah
Kan menjadi saksi pengorban
...........................................

Tiba-tiba, kami peserta Medika 1 diminta untuk berdiri, melafalkan dan memaknai setiap untaian kata yang terucap dan tertulis di layar infocus.  Dalam setiap lafal yang terucap, bulu kudukku pun berdiri, darah ditubuh ini seakan-akan mengalir deras menuju jantung untuk dipompa, air mata mendesak keluar dari kelenjar lacrima, dan saraf-saraf otak mencoba berkoneksi untuk merangkai memory beberapa tahun silam. Sungguh, lagu ini mengingatkanku, membuncahkan perasaanku, dan membangkitkan kembali semangatku.


Masa SMA

Semua berawal disini. Semua berawal dari sebuah perkumpulan yang ku kenal dengan nama Forum Study Islam. Awalnya, Aku mengikuti  kegiatan keputrian yang diadakan FSI setiap jum’at hanya untuk mengisi waktu luang disela-sela menunggu waktu belajar sore. Dengan sedikit iseng, ku pun masuk dalam lingkaran dakwah SMA ini. Namun, entah mengapa pada minggu-minggu berikutnya, aku jadi ketagihan ikut forum. Yang ku ingat, bahasannya tentang islam, muslimah, Rasulullaah, ibadah, dll. Bahkan, yang paling ku ingat sampai sekarang adalah sosok akhwat anggun yang senantiasa ikhlas berbagi ilmu dan entah mengapa mata dan hatiku sejuk ketika bertemu dengannya. Awalnya memang masih sangat dangkal, seperti sebuah sentuhan kecil kepermukaan hatiku. Namun, dibalik semua itu, kakak-kakak akhwat ini sepertinya juga menyusupkan ke lubuk hatiku bahwa berusaha menjadi shalehah adalah salah satu contoh dakwah. Akupun bertanya-tanya tentang apa itu “dakwah”

Seiring berjalannya waktu, Aku pun memutuskan menjadi pengurus lingkaran dakwah SMA ini dengan alasan simple yaitu mencari tau apa itu “dakwah”. Diawali dengan mengikuti beberapa pelatihan kepemimpinan islam yang diadakan FSI sekaligus menjadi panitia dalam beberapa pelatihan kepemimpinan tersebut, ku mulai melihat sisi lain dari dakwah, sisi yang lebih luas yang sebelumnya belum ku sentuh yaitu dakwah tidak hanya melalui usaha menjadi sosok shalehah yang bermanfaat dan contoh bagi lingkungan sekitar, namun juga melalui usaha, program, waktu, harta benda, jiwa raga, dan sebagainya untuk menyiarkan dan menegakkan nilai-nilai islam. Dakwah bisa dilakukan secara perorangan seperti menjadi penceramah, dll atau secara berkelompok (jama’i) yang salah satunya melalui FSI ini. Hal inilah yang menguatkanku untuk bertahan membagi waktu antara sekolah dan FSI. Ternyata, dibalik lelah yang menguasai saat ikut rapat forum dan saat menjadi panitia pelatihan dan kegiatan forum, ada rasa semangat yang kemudian melunturkan rasa lelah. Dibalik kesibukan yang mengorbankan sedikit waktu belajar untuk ikut rapat forum dan untuk menjadi panitia kegiatan forum, ada rasa lapang yang menjadikan waktu yang kosong tidak terbuang sia-sia dan waktu belajar yang tersisa mnjadi optimal digunakan. Terakhir, dibalik semua lelah, pengorbanan waktu, pengorbanan jiwa dan raga, dan pengorbanan materi, ada keindahan yang tak terlukiskan dalam nuansa lingkaran dakwah SMA ini.

Dakwah jama’i di FSI memang indah, tetapi dakwah secara perorangan melalui ceramah saat bulan Ramadhan di mesjid dekat rumah pun tak kalah memberi feel yang luar biasa pada diriku. Awalnya, memang malu-malu, takut, dan ada perasaam terpaksa karena diminta pihak pengurus mesjid untuk mengisi ceramah yang kosong karena pencermah tidak ada, tetapi ketika duduk didepan jama’ah mesjid, semua berubah, seperti ada perasaan supranatural yang memberanikan diri menyampaikan materi. Dalam hati, akupun bertanya-tanya inikah yang biasa disebut dengan pertolongan Allah dalam jalan dakwah.

Namun, dibalik semua keindahan yang terlukis ketika berusaha berubah dan merangkai kata dakwah dalam diri, tentu ada rintangan dan ujian yang senantiasa menyapa. Mulai dari orang tua yang heran dan mempertanyakan perubahan yang terjadi pada diriku dan kesibukanku, orang tua yang melarang untuk menginap saat kepanitian pelatihan akhir pekan, orang tua yang mempertanyakan apakah aku ikut aliran sesat, dsb. Sungguh, awalnya memang menguras tenaga untuk menjelaskan pada orang tua tentang kesibukanku dan perubahan pada diriku. Namun, dibalik semua itu, lagi-lagi pertolongan Allah yang menjadikan semua terasa mudah dan melunakkan hati orang tua untuk paham dan menerima. Bahkan orang tua pun akhirnya bisa tersenyum simpul saat melihatku berdiri di mimbar mesjid untuk memberi ceramah ramadhan. Tidak hanya itu, ibu yang awalnya curigaan, kemudian bangga melihatku berdiri menerima piala juara 1 lomba pidato Ramadhan di depan aula sekolah saat pertemuan wali murid penerima zakat Majlis Guru dan bangga melihatku berdiri ditengah lapangan sekolah untuk menerima hadiah karena setiap penerimaan rapor aku selalu masuk ranking 3 besar. Alhamdulillaah dan Subhanallaah, Pertolongan Allah memang luar biasa untuk yang senantiasa berubah dan istiqamah memperjuangkan agamaNya.


Masa Kuliah

Waktupun berjalan. Aku pun memasuki tempat penentuan masa depan dan disinilah ku mulai mengenal kata aktivis dan dakwah kampus. Kampus kedokteran yang terkenal dengan peraturan mahasiswinya wajib memakai rok ini senantiasa mewarnai pengalaman dan perjalananku dalam dunia dakwah kampus. Namun, Disini tak ada lagi FSI. Hanya dengan menambah satu huruf ‘K’ diantara huruf “S” dan “I”, FSI (Forum Study Islam) berubah menjadi FSKI (Forum Study Kedokteran Islam), suatu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai islam dikampus FK, baik syiar islam, kajian kedokteran islam, kemakmuran mesjid, kajian kemuslimahan, maupun kepeduliaan pada umat atau masyarakat umum melalui aspek pengabdian dibidang kesehatan, sosial, dan ekonomi . Melalui FSKI, Aku pun mengenal dakwah jama’i yang sesungguhnya dengan strategi dakwah yang teratur dan terorganisir. Hal ini didasari pada sebuah ayat : “Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (Qs Ash-Shaff : 4).    Melalui FSKI, aku pun sadar bahwa menjadi seorang dokter adalah profesi yang mulia. Namun, alangkah lebih mulianya jika menjadi seorang dokter dan da’i atau dokter muslim/muslimah karena setiap detik dari waktu seorang dokter adalah nyawa dan setiap detik dari waktu seorang da’i adalah dakwah.

Departemen Syiar Islam (DSI) FSKI adalah departemen yang memperkenalkanku pada kata “syiar”. Dengan  kata-kata “Para Penyiar”, kami para anggota DSI biasa dipanggil. Sebuah ayat senantiasa teringat dibenakku saat malas untuk ikut rapat dan ego menguasai untuk tidak ikut rapat karena alasan tugas kuliah : “Dan hendaklah di antara kau ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs Ali Imran : 104). Menurutku, DSI adalah aktualisasi dakwah terhadap diri sendiri dan aktualisasi dakwah kampus karena DSI mengajari untuk menyiarkan islam dihatiku dan menyiarkan islam di kampus FK melalui proker menariknya seperti ceria warna warni islam (Ceriwis), Lembaran Hikmah (Lebah), Jomblo Club, Ramadhan di Kampus (Radius), Islamic 21, dll.

Menulis adalah dakwah. Menjadi pengurus BO Dawa’ FSKI pun turut mengajariku berdakwah melalui tulisan. Sebuah puisi dengan judul “Cinta Allah : La Tahzan” di Buletin Edisi Spesial BO Dawa’ FSKI mewakili suara hatiku untuk berdakwah. Tidak cukup melalui BO Dawa’ FSKI, Aku pun hobi blogging atau menulis di blog mengenai kedokteran islam dan nilai-nilai islam. Check it my blog in www.nurfazlina-alin.blogspot.com dan www.muslimah-doctor.trumblr.com.

Setelah masa jabatan di DSI FSKI dan BO Dawa’ FSKI usai, Aku pun memutuskan untuk berdakwah melalui Departemen Peduli Umat (DPU) FSKI karena kepedulian adalah salah satu bentuk dakwah dan senantiasa berdo’a padaNya agar istiqamah itu tetap ada untuk menjalani dakwah melalui DPU untuk lebih kurang 6 bulan kedepan. Bismillaah dan InsyaAllah, Hamasah Dan Allaahu Akbar !


------ | | |-----


Tiba-tiba, aku pun tersentak dalam lamunan panjang. Lamunan ini ternyata telah menjadi rangkaian kata dan kumpulan frasa yang indah untuk ku baca. Ku pun mulai memutar lagu lain yang sedari tadi ingin untuk didengarkan.

Halo kawan, sahabat muslim tercinta
Kita sambut kemenangan bahagia
Mari kawan, ikutlah bersama kami
Membela risalah Islam didunia

Remaja peduli pintar dan mandiri
Giat berprestasi kupersembahkan untuk Illahi
Bersatu berjihad dalam dakwah Islam
Diatas panji Al Qur?an dan as Sunnah

Minggu, 16 September 2012

Malam Pertama di Rumah Allah (cerpen)

oleh : Nurfazlina
 
"Sepertinya sudah hampir 3 minggu ramadhan tahun ini ku jalani, tetapi semua masih seperti ramadhan tahun lalu yaitu berpuasa bersama keluarga atau sahur dan berbuka di kamar kos , menjalani aktivitas kuliah dengan jadwal yang tetap padat, tarawih ke mesjid bersama ibu, teman atau sendiri, berusaha mencukupkan shalat sunnah seperti dhuha, tahajud, witir, dll….”
 
Tiba-tiba ku terhenyak dari lamunan panjangku tentang hari-hari ramadhan yang telah ku jalani ini. Aku teringat pada ceramah ustazd di mesjid di kampung atau ulasan ustazd Yusuf Mansuf dalam acara “Chatting bersama YM”. Cukup satu kata untuk menggambarkan apa yang ada dipikiranku kali ini, yaitu “I’tikaf”. Awalnya pikiran dan hati yang masih begitu lugu tentang ilmu agama ini bertanya-tanya tentang satu kata tadi, apakah perempuan atau yang lazim disebut akhwat itu boleh melakukan I’tikaf, apakah I’tikaf bagi akhwat harus dilakukan di mesjid, apa saja yang dilakukan saat I’tikaf itu dan di mesjid mana saya dapat melakukan I’tikaf itu. Ketika pikiran ini bertanya-tanya, terkadang hati berusaha meyakinkan bahwa betapa indahnya I’tikaf yang digambarkan ustazd Yusuf Mansur Itu. Kurang lebih 30 menit, aku bertanya pada diri sendiri dan tak kunjung menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas. Namun, keingintahuan tentang hal yang satu ini cukup mengantarkanku untuk memejamkan mata karena telah begitu lelah dengan kuliah seharian dengan harus tetap mengisi ramadhan ini. Dalam sekejap, tubuhku pun bisa beristirahat walau hanya beberapa jam saja.
--| |--
Jum’at, 10 Agustus
Ku ambil langkah seribu karena sepertinya sudah terlambat menuju ruang tutorial gedung ABCD FK Unand. Untung, ketika kaki menginjak lantai dari ruangan yang dingin oleh AC yang over ini, sang tutor belum menduduki bangku yang khusus disediakan untuk memantau kami berdiskusi. Aku pun segera mengincar tempat yang tergolong strategis saat tutorial. Sekali lagi aku bersyukur karena dalam waktu lebih kurang satu setengah jam saja, tutorial berjalan lancar walaupun dengan sedikit komentar sang tutor. Ketika kaki melangkah keluar ruangan yang tergolong suram  ketika tutorial ini, hati merasa plong karena beban satu minggu ini sepertinya sudah terpenuhi dan pikiran pun beranjak memikirkan apa saja yang bisa dilakukan di akhir pekan . Kegiatan yang menyenangkan tentunya. Namun, Aku pun teringat pada agenda berikutnya.

“Kak, jadi kita mentoring siang ini?” kalimat ini meluncur dari bibir ketika sesosok wanita anggun ini duduk tepat disebelahku. Ia adalah mentor pengganti karena mentor sebelumnya sedang sibuk dengan agenda coast-nya. 

“InsyaAllah jadi, Ana” hanya jawaban singkat itu terlontar dari mulutnya karena harus bangkit untuk shalat sunat.

Aku pun duduk menunggu kak Nisa di teras mesjid sembari mengobrol dengan teman yang ternyata juga akan menjadi teman satu mentoring. 

“Apa kabar ukhti semua?” sapaan ini begitu indah didengar ketika senyuman pun mewarnai dan tangan saling berjabat serta tubuh saling berpelukan sembari sedikit cipika-cipiki. 

“Alhamdulillaah baik kak”, aku dan Sari menjawab pertanyaan dan membalas perlakuan kak Nisa yang begitu menyejukkan dan mengikat hati ini.

Tanpa terasa setiap detik dalam mentoring ini sungguh menginspirasi. Aku tak menduga ternyata rencana Allah begitu indah. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi malam melalui sesosok akhwat yang sedang duduk didepanku sembari dengan ikhlas berbagi ilmunya. Bahkan, diakhir mentoring, kak Nisa menawariku untuk berangkat bersama menuju mesjid Semen Padang nanti malam. Dengan girang, aku menyetujui walau kata InsyaAllah mengawali janji ini.

Ketika matahari mulai terbenam, burung kembali ke sarang, gelap mulai menyelimuti, Hamba-hambaNya yang berpuasa pun bergegas pulang, mempersiapkan diri untuk berbuka. Tak berbeda denganku, persiapan berbuka dikamar kos sendiri memang tidak tergolong sulit, yaitu hanya memanaskan lauk yang dibawa dari kampung dan membuat segelas teh hangat. Adzan pun berkumandang dan layaknya seperti menghentikan aktivitas manusia untuk menyegerakan berbuka. Seteguk teh hangat sepertinya sudah cukup melegakan dahaganya kerongkongan ini. Aku pun beranjak untuk menunaikan shalat maghrib dan makan. 

“Ana, lagi makan ya, Diana boleh ikutan makan di kamar Ana? Soalnya Diana tidak berselera kalau makan sendiri.”, suara ini mengagetkanku yang sedang asyik melahap nasi plus rendang yang ku buat bersama ibu satu minggu yang lalu.

“Boleh-boleh”, aku mempersilahkan Diana masuk ke kamar kos dan kami pun melahap makanan masing-masing sembari mengobrol dan sedikit canda tawa.

Tiba-tiba, bunyi handphone mengagetkanku. Ternyata, kak Nisa menelpon karena telah menungguku di pos satpam. Astaghfirullaah, aku lupa tentang janji siang tadi karena begitu asyiknya mengobrol dengan Diana. Dengan berat hati, kak Nisa berangkat sendiri ke mesjid Semen Padang karena tidak cukup waktu untuk menungguku untuk mandi dan merpersiapkan segala yang dibutuhkan dan aku pun merasa tidak enak jika kak Nisa menunggu lama.

Sabtu, 11 Agustus
Aku teringat bahwa agenda radius (Ramadhan di Kampus) hari ini adalah lomba Fahmil Qur’an. Aku pun segera bergerak menuju kampus karena tidak ingin melewatkan kegiatan ini. Walaupun hanya menjadi penonton karena merasa tidak percaya diri dengan ilmu agama yang masih dangkal, ku tetap merasa enjoy diruang yang memang telah dikondisikan oleh panitia sebelumnya. Suara Bel pun silih berganti berbunyi seakan saling bersahutan. Aku pun terpaku pada lantunan ayat suciNya yang silih berganti dibacakan. Bahkan, aku pun tak sadar bahwa asharpun telah datang dan lomba pun break untuk sementara.

Usai shalat ashar di mesjid, aku pun memutuskan untuk lansung pulang saja karena ingin mempersiapkan makanan untuk berbuka. 

“Ana, kamu gag ikut rapat ultah MRC?” suara ini menghentikan langkahku untuk segera menolehkan wajah menuju sumber suara.

“Gag va, Soalnya aku tidak dijarkom, kemungkinan aku tidak dipilih menjadi panitia”, jawabku kepada sumber suara.

“ooo, trus kamu mau kemana? Oia, aku mau cerita kalau kemaren aku ikut I’tikaf di mesjid Semen Padang bersama kakak-kakak di wisma, Sungguh menyenangkan loh, apalagi ketika tahajud bersama”…., temanku yang cerewet ini terus berbicara sampai semua yang ada dipikirannya tersampaikan.

“Aku mau ke kos Va. Wah, kamu bikin aku iri aja. Aku jadi kepengen ikut , tapi gag ada teman kesana.”, jawabku dengan sedikit sedih mengingat kelalaianku tadi malam.

“Kebetulan, nanti malam temanku, Mika, berencana ikut dan tadi katanya dia mau pergi sore ini biar bisa berbuka disana juga. Aku sms nomor  telponnya yak ke nomormu . Ntar kamu sms aja. Aku mau rapat nih kayaknya udah mulai. Bye Ana”.

Sembari melangkahkan kaki menuju kos tercinta, ku tekan setiap tombol handphone hingga sebuah pesan terkirim. Namun, Naas, balasan yang ku terima membuatku kecewa. Ternyata, Mika sudah naik angkot menuju Mesjid. Aku tak berani menyusul karena takut nyasar. Akhirnya, dengan pasrah, ku menyelesaikan perjalanan menuju kos.

Sambil menunggu waktu berbuka, ku tak kehabisan akal. Sebuah pesan kembali ku kirim ke nomor yang tadi malam menelponku. Namun, kali ini balasannya membuatku tersenyum dan bersemangat. Tak ingin mengecewakannya lagi, ku persiapkan mukena, gelas, obat yang ku butuhkan, dan peralatan lain yang ku perlukan disana sehingga ketika selesai makan nanti ku bisa lansung meluncur menuju pos satpam. 

Usai makan, sesuai rencanaku, dengan segera ku berjalan menuju pos satpam. Kali ini, aku lagi-lagi diuji atau mungkin balasan kelalaianku tadi malam. Kak Nisa tak kujung datang bersama motornya. Kurang lebih 30 menit, ku duduk menunggu bersama sebuah Al-Qur’an ditangan dan seorang wanita paruh baya yang juga menunggu anaknya. Sebuah pesan di HP melegakan perasaan gundah ini dan disusul dengan kedatangan sosok yang kutunggu bersama motornya. Sambil berbonceng dibelakang kak Nisa, ku menikmati udara malam kota Padang yang dingin, tetapi bahagia dihati sudah cukup menghangatkan tubuh ini. Akhirnnya, aku dan kak Nisa sampai juga ditempat tujuan dan kami segera menuju lantai dua mesjid untuk melaksanakan shalat isya agar tak ketinggalan untuk shalat tarawih berjama’ah.

Lantai dua mesjid Semen Padang memang disiapkan khusus bagi akhwat yang ingin beri’tikaf. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua, ku temukan disini, tetapi tentu dengan label “akhwat”. Mereka semua sungguh telah mempersiapkan diri. Si ibu dengan bayinya atau anaknya akan membawa persiapan seperti botol susu, susu, makanan, dan keperluan lain yang dirasa perlu di malam hari dan begitu juga dengan  ibu-ibu lanjut usia, mereka akan membawa perlengkapan yang mereka butuhkan untuk menginap. Aku, kak Nisa, serta mahasiswa lain juga membawa perlengakapan yang diperlukan seperti makanan, minuman, jaket, dll. Hal yang menyamakan dari semua golongan adalah Al-qur’an senantiasa ditangan, mukena senantiasa melingkupi tubuh dalam shalat dan tidur sebentar atau tidak tidur sama sekali. Lain halnya dengan pihak mesjid yang begitu baik menyediakan air gallon beserta dispenser yang bebas di ambil dan diminum kapan saja, makanan untuk berbuka, dan makanan untuk sahur.  

Usai shalat tarawih berjama’ah di lantai satu , aku dan muslimah lain yang akan i’tikaf segera menuju lantai dua. Seperti akhwat lain, ku ingin ditemani Al-qur’an malam ini sembari menunngu waktu tahajud berjama’ah. Terkadang kantuk menyapa, tetapi hati berusaha menguatkan. Namun, aku pun menyerah ketika malam telah begitu larut dan memutuskan untuk menghempaskan tubuh di sebidang karpet yang disediakan bersama akhwat lain yang sedari tadi sudah duluan tidur. Aku kagum pada sosok di depan sana, atau disudut sana yang kuat dan begitu menikmati malamnya dirumah Rabbnya hingga ia pun lupa untuk tidur.

Kurang lebih satu jam kemudian, ku terbangun oleh suara kak Nisa yang membangunkan untuk tahajud bersama. Subhanallaah, aku bersyukur bisa tahajud bersama dengan tangisan yang pecah dalam doa pada Rabb, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahkan, imampun menangis terisak-isak hingga suaranya hilang dalam lantunan do’a. Sang imam seperti mengajak kami merasakan betapa ni’mat bermunajat padaNya, berdoa padaNya dalam sepertiga malam di rumahNya.  Dalam do’a, yang terbayang di pikiran ini adalah sekelumit dosa dalam mengharap ampunanNya, sekelumit ni’mat yang tak terhitung, sekelumit wajah-wajah keluarga yang begitu dicintai, Ibu, Ayah, Adik, Abang, Nenek, dan saudara seiman yang senantiasa mewarnai hari-hari dalam perjuangan berharap syurgaNya serta saudara yang mungkin pernah ku buat sedih, kecewa, atau menderita. Dalam sejuta asa, ku berucap Alhamdulillaah  yang begitu luar biasa hingga air mata tak henti mengalir. Tak terbayang betapa hampa dan lemahnya diri ini tanpa pertolonganNya, betapa hinanya diri ini tanpa lindungan dan hidayah dariNya, dan betapa malang dan miskinnya diri ini tanpa ni’mat dariNya. Sekali lagi, air mata ini jatuh karena ingat sosok ibu yang begitu mulia dan kuat di tempat yang jauh disana, ayah, abang, dan adik. Ingin juga rasanya ku do’akan keselamatan dunia dan akhirat bagi mereka. Namun, tiba-tiba isakan yang senantiasa ku tahan malah semakin luar biasa ketika imam mengajak kami merasakan betapa hebatnya perjuangan saudara-saudara di Palestina dalam simbahan darah dan dalam kecaman maut untuk beribadah. Sementara kami disini dengan mudahnya dapat menikmati hari-hari dalam beribadah padaNya, menikmati makanan dan minuman tanpa ditakut-takuti suara tembakan dan menuntut ilmu tanpa kecaman mati didepan mata. Hanya seuntai do’a yang terucap pada Rabb agar Dia senantiasa melindungi dan menjaga mereka. Mungkin tetesan air mata ini atau untaian do’a ini tak sebanding dengan perjuangan muslim lain yang rela berjihad disana, Palestina. Namun, dengan turut merasakannya, setidaknya rasa syukur memotivasi untuk turut berjuang beribadah di jalanNya dan berharap bisa berjihad disana dalam profesi yang akan ku geluti kelak. Amiin Ya Rabbal’alamiin. Subhanallaah, sungguh pengalaman dan perjuangan yang mengnspirasi. Hingga tetesan demi tetesan air mataku  pun mulai menghilang disertai senyuman dan kelegaan hati yang tak bisa ku gambarkan. Ku pun merasa semua telah ku ceritakan, ku luapkan, dan  ku kuadukan padaNya, Allah Azza Wa Jalla.

Usai shalat dengan mata sedikit sembab, ku beranjak menuju tempat yang menyediakan makanan untuk sahur karena imsak sebentar lagi datang dan diikuti dengan shalat subuh berjama’ah. 

“Ana, sudah siap? Tunggu kakak di motor aja ya, Kakak mau packing dulu diatas”, kata Kak Nisa usai shalat.

“oke Kak” , aku pun beranjak meninggalkannya menuju tempat parkir motor.

Ketika diatas motor bersama kak Nisa, aku merasa lega dan bahagia. Semua pertanyaan yang kemarin terlintas dibenakku terjawab sudah. Kali ini, dalam cekaman udara subuh yang dingin, aku terharu dan berharap bisa kembali menginap dalam ibadah disana, rumah Allah. Walaupun ini adalah I’tikaf pertamaku, tetapi ku berharap ini bukan I’tikaf terakhirku.

Rabu, 07 Desember 2011

Dia, Muslimah yang Berprinsip

oleh Nur Fazlina pada 7 Desember 2011 pukul 4:15 ·

Malam ini adalah malam selasa dan aku pun teringat pada amanah, tugas yang sudah menjadi rutinitas, yakni mempelajari LO yang telah ditentukan pada hari senin. Aku harus segera fokus dan belajar malam ini. Dengan tidak membuang-buang waktu, Aku pun tersentak, bangkit, dan mengangkat piring dan gelas kotor yang baru saja ku gunakan untuk menaruh makanan pengganjal perut malam ini menuju wastefel di dapur yang letaknya tak jauh dari kamar kosku. Ketika ku mulai membilas piring tersebut satu persatu, ku terkejut mendengar suara seakan memanggil namaku dan melihat sesosok tubuh berada tepat disebelahku. Ternyata, kak Anisa telah beberapa detik yang lalu menuju kamarku untuk sekedar menemuiku tetapi tak menemukanku dikamar. Dalam sekejap, percakapan kami pun dimulai sembari menungguku selesai membilas piring dan gelas yang berlumuri sabun. Ku mulai memahami maksudnya menemuiku. Dia bermaksud melihat-lihat atau meminjam buku atau majalah yang ku koleksi dikamar.

Beberapa menit kemudian, kami pun telah berada dikamar dengan ukuran standar untuk kos seorang mahasiswi FK Unand. Ku pun menyuguhkannya beberapa buku ringan yang ku koleksi diantaranya : majalah BROCA FK Unand edisi bulan ini, Dawa’ Buletin FSKI FK Unand, Novel Negeri Lima Menara dan Ranah 3 Warna (hehe, dengan nada bangga, ku ceritakan bahwa novel ini lengkap dengan dengan tanda tangan si penulis, Anwar Fuadi), dan Buku “30 Perempuan Pilihan”. Kak Anisa hanya sesekali berkomentar sembari membuka cover yang mulai agak kusam itu. Ia pun tertarik pada Majalah BROCA yang hanya seharga 3500. Dalam anganku, ku mulai menerawang waktu 2 bulan yang lalu ketika mulai pindah ke kos ini. Kala itu, kak Anisa menyapa Aku dan ibu yang sedang membersihkan kamar. Dengan balutan gamis yang terlihat anggun ia memperkenalkan diri sebagai kakak tertua dikosan ini. Saat ini, Ia adalah seorang dosen di salah satu STIKES dan POLTEKES di Padang. Aku pun tergagum dengan muslimah lulusan S2 FK Unand ini.
.
“Kak, Ana bingung deh, klo berdebat dengan Paman yang tergolong menganut aliran yang lumayan aneh dalam islam, Masa’ ya, pas Ana nanya kenapa Beliau gag shalat. Beliau malah ngajarin ‘klo kita shalat cuma karena tradisi atau ngikut rutinitas kebanyakan orang, orang ruku’ kita ruku’, orang sujud kita ruku’ , trus kita gag ngerti maknanya, itu sama aja gag shalat. Intinya kita kan shalat buat komunikasi dengan Allah, Ya, cukup dengan mengingat Allah setiap saat. Itu lebih baik’. Gimana pendapat kakak? Ana bingung mau mendebat kayak gimana”, ku memulai obrolan dengan kak Anisa di kesunyian malam ini.

Hmm,,”, dengan sedikit wibawa yang agak nyantai kak Anisa mencoba melukiskan pendapatnya yang cukup bisa dicerna oleh setiap lekuk saraf otak ini. “ Ana, kita kan tau, sejak kecil, sejak SD lah, klo dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa diwajibkan atas setiap Umat Islam untuk Shalat 5 waktu sehari semalam sebagaimana hasil dari Isra’ Mi’raj Rasululaah SAW. Shalat adalah komunikasi kita dengan Allah. Memang, yang kita lihat saat ini kebanyakan orang cenderung memaknai shalat sebagai rutinitas, melaksanakan gerakan shalat dan membaca lafal shalat yang dihafal dan diajarkan guru ngaji tanpa memaknai arti setiap ayat dalam shalat sebagai bahasa yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Rabb sehingga shalat hanya terlihat sebagai tradisi belaka. Tapi, apakah karena hal tersebut, lantas kita kalah, kita menyerah, dan memilih jalan mudah untuk berkomunikasi dengan Allah hanya dengan mengingat-Nya setiap detik saja padahal dalam Al-Qur’an, Dia meminta kita berkomunikasi dengan-Nya dengan salah satu cara wajib yaitu shalat. Seharusnya, kita sebagai muslim tidaklah meniru kebanyakan orang dalam berbuat yang belum sempurna. Intinya, dengan menyempurnakan shalat kita, kita akan menjadikan shalat bukan sebagai rutinitas belaka, namun lebih untuk berkomunikasi, berserah, bermunajat, dan berhubungan dengan Rabb. Ana kan juga tau klo shalat bermanfaat untuk kesehatan dilihat dari gerakan shalat yang dilakukan secara sempurna mulai dari wudhu’, ruku’, sujud, dll”. Aku pun tertegun dan kata-kata ini seakan menusuk hati dan logikaku yang mulai rapuh oleh logika nafsu.

Kak, nanya lagi ya, bole kan” kata ku dengan nada memohon dan lugu. Dengan tampang menyebalkan, kak Anisa pun menudingku. “Haha, Kakak sih klo mempelajari soal syariat agama lebih suka dimaknai secara akal dan logika yang sehat. Semua memang telah tertera dalam Alqur’an dan Hadits, tetapi alangkah paham dan indahnya jika kita mencari hal-hal lain yang lebih masuk akal dan lebih ilmiah yang membuat kita lebih yakin pada ayat yang tertera dalam Al-Qur’an dan Hadits dan memaknainya secara lebih ikhlas”.

Benar juga sih kak, tapi kan butuh waktu ekstra buat nyari hal-hal tersebut. Oiya, Btw, Ana kan dulu pernah punya beberapa teman. Anehnya, tapi Alhamdulillah juga sih kak ngeliat dia dalam beberapa bulan saja bisa berubah menjadi akhwat banget gitu loh, jilbab dalam, baju longgar, dll, gimana tuh kak? Ana malah jadi takut ada kaitannya dengan aliran sesat”, ku pun memulai obrolan baru.

“Nah, Menurut kakak ya, terserah Ana setuju atau ngak ya. Kita sebagai muslim sebenarnya ngak berhak menuding seseorang sesat atau mungkin malah memaknai agama dengan sempurna. Cukup Allahlah yang berhak menilai apakah orang tersebut baik, pura-pura baik atau malah terbaik di mata-Nya. Mungkin saja orang yang biasa-biasa saja, hatinya lebih bersih dari kita. Mungkin saja ketika kita benci melihat orang pacaran, jalan dengan cowok, bergunjing, suatu saat kita akan terpengaruh dan berbuat hal yang sama. Kita sebagai hamba-Nya hanya bisa berusaha menjadi terbaik dimata-Nya. Untuk simplenya, apa yang memang telah umum dalam agama dan menjadi sesuatu yang wajib memang harus kita pertahankan disertai pendalaman menuju kesempurnaan. Jika Ana melihat orang tidak shalat, puasa, berzakat, padahal ia sangat paham agama, Ana boleh dengan gamblang menudingnya ‘sesat’ atau kafir. Terkadang, ada orang yang lebih dahulu menemukan cahaya-Nya untuk menjadi muslimah dalam balutan pakaian taqwa. Namun, terkadang ada orang yang takut, tak berani dan menunda untuk itu karena merasa belum siap dan cahaya itu belum menerobos hatinya. Intinya, kita sebaiknya berusaha menjadi terbaik dimata-Nya, berani berubah dalam usaha memperbaiki, bukan menunda untuk berubah”. Dalam anggukan setujuku, kak Anisa mengakiri penjelasan yang terlihat begitu panjang. Ia hanya nyengir melihat wajah luguku. Sesekali ia bertanya pendapatku. Terkadang ia setuju tetapi terkadang juga membantah dan meluruskan.

Malam semakin larut disertai sunyi yang terus menghiasi. Untung, malam itu setiap kamar di kos dihuni dan pagar digembok dengan kuat sehingga maling-maling mengurungkan niatnya berkunjung untuk ketiga kalinya. Ketakutanku malam ini pun seakan hilang dengan kehadiran kak Anisa dikamarku. Aku bersyukur bisa kenal dan sekosan dengan kak Anisa. Ia tak sama dengan orang yang biasa ku kenal. Biasanya, dengan dengan teman-teman, aku akan mengobrol masalah cowok, pacaran, atau jalan-jalan, semua yang berbau duniawi. Kini sesosok tubuh didepanku seakan menyejukkan hatiku yang mulai gersang. Ia tak ragu-ragu menyodorkan prinsip-prinsipnya tentang hidup dan islam. Aku pun malu akan kekanak-kanakan ku dalam memandang diriku sebagai muslim dalam menjalankan perintah-Nya.

--- | | --

Dengan penuh sabar, ku gosok-gosok baju-baju yang terlihat penuh bakteri. Untung, detergen yang ku pakai lumayan harum untuk merilekskan otot-ototku yang mulai aus oleh kontraksi menggerakkan batang gundar di permukaan baju. Seakan menikmati, satu persatu baju telah selesai ku bilas. Ya, hanya butuh sedikit tenaga lagi untuk menjemur. Tak terbayang rasanya bila esok, aku tak punya baju bersih lagi. Lagi-lagi, ada yang mengganggu konsentrasi ku dalam mencuci dan lagi-lagi, ia adalah kak Anisai. Kali ini, ia menemuiku untuk mengajak ke Gramedia. Dengan cepat, ku menjawab ‘ya’ karena ku memang berfikir untuk hunting buku lagi. Buku “Surat Kecil Untuk Tuhan” yang ku beli seminggu lalu telah ku santap dengan lahapnya. Tentu, kali ini, keinginan untuk hunting mulai muncul lagi.

Beberapa menit kemudian, ku telah siap menunggu kak Anisa yang sedari tadi berdandan di kamarnya. Untungnya, tepat di garasi mobil ibu/pemilik kos, terdapat bangku panjang yang bisa menopang tubuhku. Dengan dandanan seperti kuliah tadi pagi, ku berjalan gontai bersama kak Anisa menuju jalan raya di depan FK Unand. Target kami kali ini adalah menyetop angkot jati yang bisa membawa kami menuju tempat tujuan. Dandan kak Anisa yang terhitung sedikit lama terbayar impas dengan senyuman yang menghiasi bibir kami dan rasa percaya diri ditengan keramaian kawasan mahasiswa ini. Aku kembali menerawang dan teringat pada percakapan di malam itu. Sembari tersenyum didalam hati yang mampu ku simpulkan dari kata-katanya, “tak segampang itu kita sebagai wanita bermimpi memiliki pasangan yang shaleh, begitu juga tak mudah semudah itu seorang laki-laki mendamba seorang wanita shalehah. Semua sebanding, ketika kita seorang wanita, ingin mendapat Rasulullaah, kita harus menjadi seperti Siti Khadijah, ketika kita seorang pria ingin mendapatkan Siti Fatimah, kita harus menjadi seperti Ali bin Abi Thalib”.

Dalam hitungan menit, Angkot Jati pun berhasil mengantarkan kami ke tempat yang tergolong elit, tidak hanya karena bangunan yang dibuat mewah, tetapi juga karena pengunjung yang datang adalah kaum intelektual daerah ini. Kak Anisa dengan sigap menyapa pegawai disana untuk menanyakan Laser infokus yang ia butuhkan. Karena ia ragu dengan harganya dan itupun bukan tipe yang ia inginkan, iapun mengurungkan niat untuk membeli. Aku pun mengajak kak Anisa ke lantai dua untuk melihat buku-buku yang berlabel paling murah 20ribuan. Buku-buku medis, bernuansa biologi di lemari berhasil membiusnya untuk sekedar bertanya harga pada petugas. Hanya saja, ia bisa membandingkan dan menyimpulkan buku-buku di Ramadiva memang lebih murah dan terjangkau oleh kantong mahasiswa. Meskipun buku-buku religi ringan atau novel ringan yang dipajang juga berhasil membiusku, hati ini pun mulai berbisik dan telpon mama pun mengingatkanku bahwa buku-buku kuliah yang mulai menggunung dikamar kos belum ku lahap dengan sempurna. Ku urungkan niatku untuk membeli begitu juga kak Anisa Dalam rintikan hujan yang semakin deras, kami pun mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari gedung yang sedikit menghipnotis uang-uang dompetku untuk keluar. Tepat didepan gedung, angkot jati kembali berlalu-lalang dan kami pun memutuskan untuk menaiki salah satu dari mereka.

Dalam perjalanan pulang menuju kosan tercinta. Aku dan kak Anisa berhasil menguasi suasana angkot dengan obrolan kami. Kali ini, keningku berkerut, terharu dan terseyum simpul. Lagi-lagi, Ku sedikit mulai melihat prinsip dalam hidupnya. Ia hanya wanita muslimah biasa yang dengan sungguh-sungguh menempuh pendidikan S2 nya hingga nilai coumloude itu mudah ia dapatkan dan pribadi yang dengan tulus ikhlas menekuni profesinya sebagai dosen, bukan pribadi yang ambisius dan gila gelar akademik seperti : gelar S3 ataupun Professor. Bibirku pun kelu melukiskan semua gambaran prinsip yang ia lukiskan. Namun, tak diragukan ia adalah sosok yang berprinsip, berusaha untuk terus kuat dan menikmati hari-hari. Sungguh, aku ingin belajar dari keteguhan prinsipnya. Sungguh, Aku pun berharap prinsip hidupku bisa tumbuh dalam hatiku, berbunga, dan bisa berbuah pula dikemudian hari. Tak ingin angin menerbangkannya di kala ia mulai berbunga.

Entri Terbaru

Tokoh Indonesia dan Nilai Berakhlak