oleh : Nurfazlina
"Sepertinya sudah hampir 3 minggu
ramadhan tahun ini ku jalani, tetapi semua masih seperti ramadhan tahun lalu
yaitu berpuasa bersama keluarga atau sahur dan berbuka di kamar kos , menjalani
aktivitas kuliah dengan jadwal yang tetap padat, tarawih ke mesjid bersama ibu,
teman atau sendiri, berusaha mencukupkan shalat sunnah seperti dhuha, tahajud,
witir, dll….”
Tiba-tiba
ku terhenyak dari lamunan panjangku tentang hari-hari ramadhan yang telah ku
jalani ini. Aku teringat pada ceramah ustazd di mesjid di kampung atau ulasan
ustazd Yusuf Mansuf dalam acara “Chatting bersama YM”. Cukup satu kata untuk
menggambarkan apa yang ada dipikiranku kali ini, yaitu “I’tikaf”. Awalnya
pikiran dan hati yang masih begitu lugu tentang ilmu agama ini bertanya-tanya
tentang satu kata tadi, apakah perempuan atau yang lazim disebut akhwat itu
boleh melakukan I’tikaf, apakah I’tikaf bagi akhwat harus dilakukan di mesjid,
apa saja yang dilakukan saat I’tikaf itu dan di mesjid mana saya dapat
melakukan I’tikaf itu. Ketika pikiran ini bertanya-tanya, terkadang hati
berusaha meyakinkan bahwa betapa indahnya I’tikaf yang digambarkan ustazd Yusuf
Mansur Itu. Kurang lebih 30 menit, aku bertanya pada diri sendiri dan tak
kunjung menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas. Namun, keingintahuan
tentang hal yang satu ini cukup mengantarkanku untuk memejamkan mata karena
telah begitu lelah dengan kuliah seharian dengan harus tetap mengisi ramadhan
ini. Dalam sekejap, tubuhku pun bisa beristirahat walau hanya beberapa jam
saja.
--|
|--
Jum’at, 10 Agustus
Ku
ambil langkah seribu karena sepertinya sudah terlambat menuju ruang tutorial
gedung ABCD FK Unand. Untung, ketika kaki menginjak lantai dari ruangan yang
dingin oleh AC yang over ini, sang
tutor belum menduduki bangku yang khusus disediakan untuk memantau kami
berdiskusi. Aku pun segera mengincar tempat yang tergolong strategis saat
tutorial. Sekali lagi aku bersyukur karena dalam waktu lebih kurang satu
setengah jam saja, tutorial berjalan lancar walaupun dengan sedikit komentar
sang tutor. Ketika kaki melangkah keluar ruangan yang tergolong suram ketika tutorial ini, hati merasa plong karena beban satu minggu ini
sepertinya sudah terpenuhi dan pikiran pun beranjak memikirkan apa saja yang
bisa dilakukan di akhir pekan . Kegiatan yang menyenangkan tentunya. Namun, Aku
pun teringat pada agenda berikutnya.
“Kak,
jadi kita mentoring siang ini?” kalimat ini meluncur dari bibir ketika sesosok
wanita anggun ini duduk tepat disebelahku. Ia adalah mentor pengganti karena
mentor sebelumnya sedang sibuk dengan agenda coast-nya.
“InsyaAllah
jadi, Ana” hanya jawaban singkat itu terlontar dari mulutnya karena harus
bangkit untuk shalat sunat.
Aku
pun duduk menunggu kak Nisa di teras mesjid sembari mengobrol dengan teman yang
ternyata juga akan menjadi teman satu mentoring.
“Apa
kabar ukhti semua?” sapaan ini begitu indah didengar ketika senyuman pun
mewarnai dan tangan saling berjabat serta tubuh saling berpelukan sembari
sedikit cipika-cipiki.
“Alhamdulillaah
baik kak”, aku dan Sari menjawab pertanyaan dan membalas perlakuan kak Nisa
yang begitu menyejukkan dan mengikat hati ini.
Tanpa
terasa setiap detik dalam mentoring ini sungguh menginspirasi. Aku tak menduga
ternyata rencana Allah begitu indah. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi
malam melalui sesosok akhwat yang sedang duduk didepanku sembari dengan ikhlas
berbagi ilmunya. Bahkan, diakhir mentoring, kak Nisa menawariku untuk berangkat
bersama menuju mesjid Semen Padang nanti malam. Dengan girang, aku menyetujui
walau kata InsyaAllah mengawali janji
ini.
Ketika
matahari mulai terbenam, burung kembali ke sarang, gelap mulai menyelimuti,
Hamba-hambaNya yang berpuasa pun bergegas pulang, mempersiapkan diri untuk
berbuka. Tak berbeda denganku, persiapan berbuka dikamar kos sendiri memang
tidak tergolong sulit, yaitu hanya memanaskan lauk yang dibawa dari kampung dan
membuat segelas teh hangat. Adzan pun berkumandang dan layaknya seperti
menghentikan aktivitas manusia untuk menyegerakan berbuka. Seteguk teh hangat
sepertinya sudah cukup melegakan dahaganya kerongkongan ini. Aku pun beranjak
untuk menunaikan shalat maghrib dan makan.
“Ana,
lagi makan ya, Diana boleh ikutan makan di kamar Ana? Soalnya Diana tidak
berselera kalau makan sendiri.”, suara ini mengagetkanku yang sedang asyik
melahap nasi plus rendang yang ku buat bersama ibu satu minggu yang lalu.
“Boleh-boleh”,
aku mempersilahkan Diana masuk ke kamar kos dan kami pun melahap makanan
masing-masing sembari mengobrol dan sedikit canda tawa.
Tiba-tiba,
bunyi handphone mengagetkanku. Ternyata, kak Nisa menelpon karena telah
menungguku di pos satpam. Astaghfirullaah,
aku lupa tentang janji siang tadi karena begitu asyiknya mengobrol dengan
Diana. Dengan berat hati, kak Nisa berangkat sendiri ke mesjid Semen Padang
karena tidak cukup waktu untuk menungguku untuk mandi dan merpersiapkan segala
yang dibutuhkan dan aku pun merasa tidak enak jika kak Nisa menunggu lama.
Sabtu, 11 Agustus
Aku
teringat bahwa agenda radius (Ramadhan di Kampus) hari ini adalah lomba Fahmil
Qur’an. Aku pun segera bergerak menuju kampus karena tidak ingin melewatkan
kegiatan ini. Walaupun hanya menjadi penonton karena merasa tidak percaya diri
dengan ilmu agama yang masih dangkal, ku tetap merasa enjoy diruang yang memang telah dikondisikan oleh panitia
sebelumnya. Suara Bel pun silih berganti berbunyi seakan saling bersahutan. Aku
pun terpaku pada lantunan ayat suciNya yang silih berganti dibacakan. Bahkan,
aku pun tak sadar bahwa asharpun telah datang dan lomba pun break untuk sementara.
Usai
shalat ashar di mesjid, aku pun memutuskan untuk lansung pulang saja karena
ingin mempersiapkan makanan untuk berbuka.
“Ana,
kamu gag ikut rapat ultah MRC?” suara ini menghentikan langkahku untuk segera
menolehkan wajah menuju sumber suara.
“Gag
va, Soalnya aku tidak dijarkom, kemungkinan aku tidak dipilih menjadi panitia”,
jawabku kepada sumber suara.
“ooo,
trus kamu mau kemana? Oia, aku mau cerita kalau kemaren aku ikut I’tikaf di
mesjid Semen Padang bersama kakak-kakak di wisma, Sungguh menyenangkan loh,
apalagi ketika tahajud bersama”…., temanku yang cerewet ini terus berbicara
sampai semua yang ada dipikirannya tersampaikan.
“Aku
mau ke kos Va. Wah, kamu bikin aku iri aja. Aku jadi kepengen ikut , tapi gag ada
teman kesana.”, jawabku dengan sedikit sedih mengingat kelalaianku tadi malam.
“Kebetulan,
nanti malam temanku, Mika, berencana ikut dan tadi katanya dia mau pergi sore
ini biar bisa berbuka disana juga. Aku sms nomor telponnya yak ke nomormu . Ntar kamu sms aja.
Aku mau rapat nih kayaknya udah mulai. Bye Ana”.
Sembari
melangkahkan kaki menuju kos tercinta, ku tekan setiap tombol handphone hingga
sebuah pesan terkirim. Namun, Naas, balasan yang ku terima membuatku kecewa.
Ternyata, Mika sudah naik angkot menuju Mesjid. Aku tak berani menyusul karena
takut nyasar. Akhirnya, dengan pasrah, ku menyelesaikan perjalanan menuju kos.
Sambil
menunggu waktu berbuka, ku tak kehabisan akal. Sebuah pesan kembali ku kirim ke
nomor yang tadi malam menelponku. Namun, kali ini balasannya membuatku
tersenyum dan bersemangat. Tak ingin mengecewakannya lagi, ku persiapkan
mukena, gelas, obat yang ku butuhkan, dan peralatan lain yang ku perlukan
disana sehingga ketika selesai makan nanti ku bisa lansung meluncur menuju pos
satpam.
Usai
makan, sesuai rencanaku, dengan segera ku berjalan menuju pos satpam. Kali ini,
aku lagi-lagi diuji atau mungkin balasan kelalaianku tadi malam. Kak Nisa tak
kujung datang bersama motornya. Kurang lebih 30 menit, ku duduk menunggu
bersama sebuah Al-Qur’an ditangan dan seorang wanita paruh baya yang juga
menunggu anaknya. Sebuah pesan di HP melegakan perasaan gundah ini dan disusul
dengan kedatangan sosok yang kutunggu bersama motornya. Sambil berbonceng
dibelakang kak Nisa, ku menikmati udara malam kota Padang yang dingin, tetapi
bahagia dihati sudah cukup menghangatkan tubuh ini. Akhirnnya, aku dan kak Nisa
sampai juga ditempat tujuan dan kami segera menuju lantai dua mesjid untuk
melaksanakan shalat isya agar tak ketinggalan untuk shalat tarawih berjama’ah.
Lantai
dua mesjid Semen Padang memang disiapkan khusus bagi akhwat yang ingin
beri’tikaf. Mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua, ku temukan
disini, tetapi tentu dengan label “akhwat”. Mereka semua sungguh telah
mempersiapkan diri. Si ibu dengan bayinya atau anaknya akan membawa persiapan
seperti botol susu, susu, makanan, dan keperluan lain yang dirasa perlu di
malam hari dan begitu juga dengan
ibu-ibu lanjut usia, mereka akan membawa perlengkapan yang mereka
butuhkan untuk menginap. Aku, kak Nisa, serta mahasiswa lain juga membawa
perlengakapan yang diperlukan seperti makanan, minuman, jaket, dll. Hal yang
menyamakan dari semua golongan adalah Al-qur’an senantiasa ditangan, mukena
senantiasa melingkupi tubuh dalam shalat dan tidur sebentar atau tidak tidur
sama sekali. Lain halnya dengan pihak mesjid yang begitu baik menyediakan air gallon
beserta dispenser yang bebas di ambil dan diminum kapan saja, makanan untuk
berbuka, dan makanan untuk sahur.
Usai
shalat tarawih berjama’ah di lantai satu , aku dan muslimah lain yang akan
i’tikaf segera menuju lantai dua. Seperti akhwat lain, ku ingin ditemani
Al-qur’an malam ini sembari menunngu waktu tahajud berjama’ah. Terkadang kantuk
menyapa, tetapi hati berusaha menguatkan. Namun, aku pun menyerah ketika malam
telah begitu larut dan memutuskan untuk menghempaskan tubuh di sebidang karpet
yang disediakan bersama akhwat lain yang sedari tadi sudah duluan tidur. Aku
kagum pada sosok di depan sana, atau disudut sana yang kuat dan begitu
menikmati malamnya dirumah Rabbnya hingga ia pun lupa untuk tidur.
Kurang
lebih satu jam kemudian, ku terbangun oleh suara kak Nisa yang membangunkan
untuk tahajud bersama. Subhanallaah, aku
bersyukur bisa tahajud bersama dengan tangisan yang pecah dalam doa pada Rabb,
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bahkan, imampun menangis terisak-isak
hingga suaranya hilang dalam lantunan do’a. Sang imam seperti mengajak kami
merasakan betapa ni’mat bermunajat padaNya, berdoa padaNya dalam sepertiga
malam di rumahNya. Dalam do’a, yang
terbayang di pikiran ini adalah sekelumit dosa dalam mengharap ampunanNya,
sekelumit ni’mat yang tak terhitung, sekelumit wajah-wajah keluarga yang begitu
dicintai, Ibu, Ayah, Adik, Abang, Nenek, dan saudara seiman yang senantiasa
mewarnai hari-hari dalam perjuangan berharap syurgaNya serta saudara yang
mungkin pernah ku buat sedih, kecewa, atau menderita. Dalam sejuta asa, ku
berucap Alhamdulillaah yang begitu luar biasa hingga air mata tak
henti mengalir. Tak terbayang betapa hampa dan lemahnya diri ini tanpa
pertolonganNya, betapa hinanya diri ini tanpa lindungan dan hidayah dariNya,
dan betapa malang dan miskinnya diri ini tanpa ni’mat dariNya. Sekali lagi, air
mata ini jatuh karena ingat sosok ibu yang begitu mulia dan kuat di tempat yang
jauh disana, ayah, abang, dan adik. Ingin juga rasanya ku do’akan keselamatan
dunia dan akhirat bagi mereka. Namun, tiba-tiba isakan yang senantiasa ku tahan
malah semakin luar biasa ketika imam mengajak kami merasakan betapa hebatnya
perjuangan saudara-saudara di Palestina dalam simbahan darah dan dalam kecaman
maut untuk beribadah. Sementara kami disini dengan mudahnya dapat menikmati
hari-hari dalam beribadah padaNya, menikmati makanan dan minuman tanpa
ditakut-takuti suara tembakan dan menuntut ilmu tanpa kecaman mati didepan
mata. Hanya seuntai do’a yang terucap pada Rabb agar Dia senantiasa melindungi
dan menjaga mereka. Mungkin tetesan air mata ini atau untaian do’a ini tak
sebanding dengan perjuangan muslim lain yang rela berjihad disana, Palestina.
Namun, dengan turut merasakannya, setidaknya rasa syukur memotivasi untuk turut
berjuang beribadah di jalanNya dan berharap bisa berjihad disana dalam profesi
yang akan ku geluti kelak. Amiin Ya Rabbal’alamiin. Subhanallaah, sungguh pengalaman dan perjuangan yang mengnspirasi. Hingga
tetesan demi tetesan air mataku pun mulai
menghilang disertai senyuman dan kelegaan hati yang tak bisa ku gambarkan. Ku pun
merasa semua telah ku ceritakan, ku luapkan, dan ku kuadukan
padaNya, Allah Azza Wa Jalla.
Usai
shalat dengan mata sedikit sembab, ku beranjak menuju tempat yang menyediakan makanan
untuk sahur karena imsak sebentar lagi datang dan diikuti dengan shalat subuh
berjama’ah.
“Ana,
sudah siap? Tunggu kakak di motor aja ya, Kakak mau packing dulu diatas”, kata Kak Nisa usai shalat.
“oke
Kak” , aku pun beranjak meninggalkannya menuju tempat parkir motor.
Ketika
diatas motor bersama kak Nisa, aku merasa lega dan bahagia. Semua pertanyaan
yang kemarin terlintas dibenakku terjawab sudah. Kali ini, dalam cekaman udara
subuh yang dingin, aku terharu dan berharap bisa kembali menginap dalam ibadah
disana, rumah Allah. Walaupun ini adalah I’tikaf pertamaku, tetapi ku berharap
ini bukan I’tikaf terakhirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar