Selamat Ulang Tahun Mama,
Ma, mendengar lagi suaramu
ditelpon malam ini sungguh melegakan hati ini dan menghilangkan cemas ini
karena Allah masih memberimu kesehatan,
tidak flu, demam, sakit kepala lagi, atau magh lagi. Namun, ketika diberitahu
bahwa kemaren ultahmu, aku minta ma’af tak berucap selamat. Ketika mendengar
pemberitahuan ini, entah kenapa tiba-tiba aku sedih dan air mata pun menetes di
pipi. Yang terpikir di pikiran ini adalah kala umurmu semakin bertambah, aku
belum bisa berbuat apa-apa untuk membalas jasamu atau setidaknya meringankan
bebanmu. Aku minta ma’af mama.
Ma, entah mengapa pikiranku
melayang dan berkecamuk pada masa-masa satu tahun lalu. Mengapa tak bertahan saja kamu pada jurusan yang dulu, mungkin sekarang
telah tahun 3, tak berapa lama lagi wisuda, bekerja, memperoleh gaji besar,
bisa mengirim uang pada mama, dan akhirnya bisa membahagiakan mama. Tak perlu
berlama-lama kan. Pikiran ini pun muncul di benak ini, aku tak tau apakah
ini hasutan syeitan ditambah sesal orang-orang sekitar atas keegoisanku.
Bahkan, dengan tidak bermaksud menuduh, sampai sekarang pun mungkin pikiranmu sama
dengan mereka. Aku tau aku salah dan aku mohon ma’af sedalam-dalamnya untuk
egoisku, untuk tangisan yang terjadi saat itu.
Ma, boleh aku jujur, bolehkah aku
mengaku bahwa terkadang mungkin ada sedikit sesal karena hasutan syeitan atau
lemahnya diri ini akan semua tudingan orang. Namun, dibalik semua itu, rasa
syukur dan bahagia disini lebih besar hingga selalu menghapus semua itu ketika
ia datang mendekat. Di balik semua itu, saat ini aku merasa begitu bersemangat
akan masa depanku hingga semangat itu mengahilangkan takutku. Dibalik semua
itu, saat ini aku berjanji untuk bersungguh-sungguh dan mempersiapkan semua
untukmu ma. Di balik semua itu, memang aku belum bisa mengirim uang untuk
meringankan bebanmu dan masih butuh waktu 5 tahun lagi untuk itu, tetapi saat
ini, aku akan berusaha sekuat tenaga mencari penghasilan untuk bisa mengirim
sedikit uang, mungkin dari mengajar, dari hadiah lomba, mungkin dari uang
beasiswa yang ku hemat dan ku sisihkan, atau mungkin dari kiriman mak wo yang
lansung akan ku transfer untukmu. Mungkin ini ide yang mustahil menurut orang,
tetapi sungguh aku tak sanggup melihat mama berpikir keras untuk biaya kuliah
abang, uang jajan abang dan zikri, beli rokok papa, dan belanja sehari-hari
yang tak tau dari mana penghasilan itu datang setiap bulannya. Sungguh,
sebenarnya aku tak sanggup ma, aku sayang mama.
Ma, boleh kah ku sedikit
berbicara lewat tulisan ini agar aku dan dirimu bisa tersenyum dalam peliknya
hidup ini dan tidak bermaksud untuk menggurui. Menghadapi peliknya hidup kita ini, Kita hanya bisa berserah ma padaNya
layaknya aku berserah ketika aku berani memutuskan disini hingga Dia mendengar
do’aku, tak membiarkan aku tak kuliah, memberi beasiswa sebagai pengganti
beasiswa yang ku tinggalkan disana dan beasiswa yang bisa dilanjutkan,
melembutkan hati mak wo dan bang fandi agar mema’afkanku dan mensupport lagi
studyku, dan terakhir melembutkan hatimu yang telah kecewa dengan ulahku.
Menghadapi peliknya hidup kita ini, kita hanya bisa bersyukur karena masih bisa
makan, minum, punya rumah, aku dan abang bisa kuliah, zikri bisa sekolah dan keluarga
papa peduli dengan papa dan keluarga kita. Menghadapi peliknya hidup kita ini,
kita masih bisa tersenyum kan ma, masih bisa berdo’a dan masih bisa yakin bahwa
Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Menghadapi peliknya hidup kita ini,
yakinlah bahwa bahagia itu tidak selamanya bila memiliki uang banyak, tetapi
lebih membahagiakan kala kita berkumpul di bawah satu atap, makan bersama walau
hanya sepiring nasi dengan lauk yang terkadang pas-pas, dan sehat wal ‘afiat
sehingga bisa berlomba beribadah padaNya. Namun, dalam do’a tentu hati ini
condong pada rumah yang bagus, mobil mewah, dan hidup sejahtera. Semoga
kata ini bisa membuat mama dan diriku tersenyum haru malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar